BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Diberitakan di banyak media. Mengundang keprihatinan banyak pihak terutama orang-orang yang seprofesi dengannya. Ya, Bu Supriyani. Seorang guru wanita SDN 4 Baito Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Bu Supriyani yang hanya seorang guru honorer (bukan ASN/PPPK) diperkarakan oleh salah seorang wali murid atas tindakanya. Dia diduga menganiaya salah seorang murid inisial D (8 tahun). Menganiaya?
Jangan-jangan apa yang dilakukan Bu Supriyani adalah cara beliau mendidik siswanya dengan memberikan hukuman fisik ringan lalu dianggap sebagai bentuk pelanggaran karena telah menyakiti fisik seorang anak? Entahlah. Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran orang tua murid.
Kita juga tidak tahu, seberapa luas pemahaman orang tua murid hingga bisa mebedakan mana hukuman katagori alat pendidikan dan mana hukuman katagori pidana? Pastinya akibat tindakan Bu Supriyani ini – memukul dengan sapu ijuk - (menurut pengaukan salah satu siswa lainnya), kasusnya berbuntut panjang. Melebar kemana-mana, menyeret banyak pihak masuk ke pusaran kasusnya.
Hari-hari panjang dan melelalahkan bakal dilalui oleh guru honorer dengan upah yang tak seberapa itu. Tentu, Bu Supriyani juga tidak pernah membayangkan jika pada akhirnya kegiatan mendisiplinkan anak didiknya saat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berlangsung di klas bakal menyulut kesalahfahaman dan/atau bahkan kemarahan salah seorang wali murid hingga membawanya ke meja pengadilan.
Status Hukuman
Memberikan hukuman kepada anak didik (dalam batasan proporsionalitas) sebagaimana dilakukan oleh Bu Supriyani sebenarnya adalah hal lazim dilakukan oleh banyak guru dalam rangka menciptakan situasi kondusif pembelajaran. Terbangunnya kondisi ini penting agar KBM bisa dilaksanakan dengan efektif. Tujuan dan/atau kompetensi pembelajaran dapat dicapai tanpa banyak kendala. Sampai di sini sebenarnya menghukum anak didik – selama dilakukan secara proporsional – bisa dibenarkan?
Dalam perpektif pendidikan klasik, setidaknya bagi strategi manajemen klas bagi Lavengeld, menghukum (punishment) yang dilakukan oleh guru kepada anak didiknya adalah salah satu upaya dalam rangka menegakan disiplin klelas. Bagi Langeveld, hukuman adalah salah satu bentuk alat pendidikan. Hukuman kata Langevel lagi adalah perbuatan dan/atau satu situasi yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan/pembelajaran.
Langeveld mensejajarkan hukuman dengan alat pendidikan lainnya seperti pembiasaan, pengawasan, perintah, ganjaran, pujian, larangan hingga keteladan dari guru. Yang perlu diperhatikan adalah memahami sesunggunya makna hukuman itu. Dalam memberikan hukuman – jikapun terpaksa dilakukan – kata Langeveld, maka guru hendaknya berpedoman kepada “ punitur,quia pecatum ost” (dihukum, karena telah bersalah), dan juga “pinitur, no pecatur” (dihukum, agar tidak lagi berbuat kesalahan)”
Selain berpijak kepada pitutur diatas, guru –siapapun orangnya- harus pula memperhatikan hal-hal berikut ketika hendak memberikan hukuman kepada anak didiknya. Kapan hukuman itu dipergunakan, terhadap siapa hukuman itu diberikan (siswa laki-laki atau perempuan). Bagaimana hukuman itu dilakukan, dimana hukuman itu dilakukan, dan juga -ini yang sangat penting- bahwa penggunaanya dilakukan jika hanya sangat perlu.
Sebagai alat pendidikan represif (pendisiplinan), guru harus juga menyadari bahwa hukuman tidak boleh diberikan kepada anak didik dalam keadaan marah. Juga, tidak boleh diberikan sebagai upaya belas dendam. Dan, guru hanya boleh memberikan hukuman jika dengan hukuman itu iya yakin bahwa tindakanya akan memberikan efek positif (baik) terhadap perubahan tingkah laku anak didiknya.
Perlu Perlindungan
Banyak literatur menyatakan bahwa guru adalah jabatan profesional meski sebagian orang masih ragu dan debatable soal ini dengan berbagai alasan. Kurang ini, kurang itu. Sebagai jabatan professional, tentu banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang guru dan/atau calon guru, sehingga tidak sembarang orang bisa menjalani profesi ini. Lazimnya sebuah profesi, apapun itu bentuknya pastinya dilindungi oleh undang-undang yang menjamin keterlaksaan profesi itu dengan baik, aman dan nyaman.
Bagaimana engan profesi guru? merujuk kepada Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005, di pasal 14, ayat (c), dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak “memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas”. Di pasal 14, huruf (g), dinyatakan bahwa guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan berhak “memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan”.
Soal perlindungan, pada pasal 39, ayat (1), dinaytakan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Pasal yang sama ayat (2), “perlindungan dimaksud melipuit : (1), perlindungan hukum, perlindungan profesi serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (2), Perlindungan hukum yang dimaksud mencakup perlindungan hukum terhadap tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain”. Nah, clear kan!
Saling Kesefahaman
Keberhasilan tugas profesional seorang guru-seperti Bu Supriyani membutuhkan dukungan banyak pihak. Lebih-lebih pada profesi kependidikan/keguruan. Pekerjaan dan/atau profesi ini memang mulia, tetapi pada kasus-kasus tertentu beririsan dengan sensitifitas nilai.
Ya, nilai sebuah hukuman. Sebuah pilihan nilai yang sensitif. Ya mendisiplinkan anak itu. Satu sisi memungkinkan dilakukan, disisi lain timbul resistensi. Karena itu kerjasama dan saling kesefahaman antar guru dan orangtua murid perihal ini sangat penting dilakukan.
Satu pihak, guru harus paham bagaimana memposisikan hukuman sebagai alat pendidikan yang penggunaan dan/atau pemanfaatanya hanya semata untuk memperbaiki (mengkurasi) prilaku negatif yang terlanjur dilakukan oleh anak didik agar tidak mengulang kesalahan yang sama di lain waktu. Penting dilakukan langkah-langkah pencegahan (prefensi) secara terus menerus agar potensi prilaku negatif anak didik bisa dicegah, tidak muncul dalam prilaku nyata.
Apapun pilihan strategi guru menisiplinkan anak didik tak ada sedikitpun berniat membuat merekaa terluka, apalagi trauma. Pilihan itu (mendisiplinkan) adalah semata untuk mencipatakan suasana kondusif pembelajaran yang denganya anak anak bisa memanfaatkan seoptimal mungkin meningkatkan/memacu potensi yang dimilikinya.
Dalam konteks ini perlunya direnungkan kata Sergiovani bahwa “berharap meningkatan mutu pendidikan ( pembelajaran : pen ) melalui kerjasama harmonis guru dengan orangtua murid, lebih baik dari harapan terhadap kurikulum”.
Kedepan kiranya perlu dirancang sebuah agenda (semacam forum) yang mempetemukan antara guru dan orangtua murid untuk membangun kesepafahaman tentang tugas-tugas guru lebih komprehensif. Lebih-lebih bicara tentang beban seorang guru SD.
Jujur diakui bahwa guru SD memiliki beban lebih dibanding guru-guru di satuan pendidikan diatasnya. Beban manajerial guru SD melampaui beban akademiknya. Mereka membangun pondasi dari awal. Dari anak-anak yang kesadaran dirinya (self relience) belum terbentuk, baru sebatas pola. Masih labih. Tergantung ada tidaknya, besar kecilnya, intens tidaknya intervensi lingkungan, yang salah satunya dari para guru.
Mereka mengajar. Mereka mendidik. Mereka membimbing. Mereka melatih anak-anak, memberikan contoh baik, kemudian membereskan tugas-tugas admnistrasi sekolah. Melalui forum silaturahim seperti ini (pertemuan pencerahan) kesalahfahaman antara guru dan orang tua dalam hal mendidik dan mendisiplinkan anak di sekolah bisa diclearkan.
Dalam kerangka ini penting bagi Dewan Pendidikan (DP) menginisiasi niatan baik ini melalui penguatan komite sekolah, mensosialisasi materi-materi yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, tanggungjawab dan hak-hak guru. Di pihak lain penting juga dijernihkan soal tugas, kewajiban, dan tanggung jawab orang tua murid dalam konteks relasi antara sekolah, guru dan masyarakat. (*)
*Mohamad Hasyim, Pengurus Dewan Pendidikan Banyuwangi. Mengajar di Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Genteng Banyuwangi.