Sidang PN Banyuwangi Ungkap Dugaan Praktik Mafia Tanah, Tanda Tangan Dipalsukan

20240808_201656.jpg Sidang di Pengadilan Negeri Banyuwangi yang Menyeret Nama Pengusaha Banyuwangi

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Kasus dugaan pemalsuan Akta Hibah yang menyeret nama Agus Sudirman dan merugikan mantan istrinya, Sulfia Irani, kembali mengungkap praktik mafia tanah di Banyuwangi.


Dalam sidang di Pengadilan Negeri Banyuwangi pada Selasa (06/08/2024), terungkap bahwa tanda tangan Sulfia diduga dipalsukan oleh Agus untuk mengelabui proses pengalihan harta gono-gini.


Jaksa Penuntut Umum menghadirkan lima saksi kunci, termasuk Notaris PPAT Fanny Yulistianto Setiabudi, S.H., M.M., M.Kn., yang terlibat dalam pembuatan akta hibah tersebut.


Dalam kesaksiannya, Sulfia dengan tegas membantah pernah menandatangani dokumen apapun terkait pembagian aset selama pernikahannya dengan terdakwa. 


"Saya sama sekali tidak pernah menandatangani akta-akta hibah itu," ungkap Sulfia di hadapan Majelis Hakim sambil menunjukkan contoh tanda tangan pembanding.


Dugaan pemalsuan ini semakin kuat setelah hasil pemeriksaan grafonomi kriminalistik oleh Polda Jatim menunjukkan bahwa tanda tangan pada Akta Hibah tersebut tidak identik dengan tanda tangan asli Sulfia.


Temuan ini memicu spekulasi tentang adanya praktik mafia tanah yang memanfaatkan celah hukum untuk mengubah kepemilikan aset secara ilegal.


Di persidangan, Fanny Yulistianto, notaris yang menyusun akta-akta hibah tersebut, dicecar oleh Majelis Hakim dengan pertanyaan seputar proses pembuatan akta-akta hibah.


Ketua Majelis Hakim Dr. I Gede Yuliarta, S.H., M.H., bertanya, "Benar tidak itu tanda tangan Sulfia Irani? Karena saksi korban ini membantah itu tanda tangannya."


Fanny menjawab, "Berkas Akta-akta hibah itu dibawa Wahyudi (mantan staf notarisnya) dan Dimas (rekan terdakwa). Katanya dibawa ke rumah Pakis untuk ditandatangani Sulfia Irani dan Agus Sudirman".


"Jika begitu, benar tidak penandatanganan Akta Hibah tidak dilakukan di hadapan saudara?" tanya Hakim. "Tidak benar yang mulia," jawab Fanny.


Pengakuan Fanny ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai potensi dugaan pelanggaran kode etik PPAT, yang seharusnya memastikan semua penandatanganan dilakukan di hadapan notaris.


Implikasi hukum dari kasus ini semakin rumit mengingat sebagian besar aset yang dipermasalahkan kini telah beralih nama kepada empat anak terdakwa dari pernikahan pertamanya. (*)