
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Warga Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, tengah dirundung kegelisahan setelah tanah kuburan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dusun Krajan dikuasai oleh salah satu yayasan pendidikan di wilayah tersebut. Penguasaan ini didasarkan pada sertifikat wakaf Nomor 00037 yang terbit pada 27 Desember 2024.
Namun, terbitnya sertifikat ini justru menimbulkan gejolak di masyarakat. Pasalnya, lahan seluas 2.500 m² itu merupakan tanah makam murni yang telah ada sejak desa ini berdiri. Bukti sejarahnya tercatat dalam buku kerawangan desa sejak tahun 1962, yang dengan jelas menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan fasilitas umum.
Kuasa hukum warga, Budi Kurniawan Sumarsono atau yang akrab disapa CWW, menjelaskan bahwa yayasan tersebut baru berdiri pada tahun 2021, dengan pendirinya seorang tokoh berinisial Haji BW, yang telah meninggal pada Mei 2024.
Menurut CWW, sejarah Haji BW sendiri cukup unik. Dahulu, ia adalah seorang fakir miskin yang meminta izin kepada sesepuh desa dan takmir masjid untuk tinggal sementara di area makam. Kesepakatan saat itu adalah jika ia telah memiliki cukup kekayaan untuk membeli rumah sendiri, maka ia harus meninggalkan lokasi tersebut. Namun, realitanya justru berbeda.
"Alih-alih pindah setelah memiliki banyak aset, Haji BW justru tidak mau pindah dan malah membuat bangunan baru di tanah makam," kata CWW, pada Rabu (19/03/2025).
Pada tahun 2021, yayasan ini dibentuk dengan Haji BW sebagai ketua sekaligus wakif (pemberi wakaf). Kejanggalan muncul karena dalam buku kerawangan desa tidak ada bukti kepemilikan tanah oleh Haji BW, yang seharusnya tercatat sebagai fasilitas umum.
“Ini kan aneh karena di buku kerawangan desa itu tidak ada alat haknya Haji BW. Tanah itu tertulis fasum. Sehingga diduga ini ada pemalsuan data-data,” bebernya.
Selain dugaan pemalsuan dokumen, CWW juga menyoroti kemungkinan keterlibatan oknum perangkat desa dalam penerbitan sertifikat ini. "Kami melihat ada indikasi dugaan permainan yang terstruktur dan sistematis dalam penguasaan tanah makam ini," tambahnya.
Keanehan lainnya adalah adanya perbedaan luas tanah antara catatan resmi desa dan sertifikat wakaf. Dalam buku desa, luas tanah makam tercatat 2.562 m², tetapi dalam sertifikat yang terbit hanya 1.649 m², mengindikasikan maladministrasi dalam pengukuran tanah.
“Ada mal administrasi di ukuran juga, persoalan ini banyak misteri. Ada anomali data,” ujarnya.
Warga semakin geram setelah adanya laporan bahwa yayasan tersebut, bersama beberapa oknum perangkat desa, telah membongkar sejumlah makam secara sepihak pada tahun 2022. Lahan yang sebelumnya digunakan sebagai pemakaman, kini telah dipaving dan dijadikan bangunan.
“Sehingga bagi masyarakat pendudukan lahan ini sangat membuat geram,” imbuhnya.
Merasa hak mereka dilanggar, warga Watukebo melalui tim kuasa hukum telah mengajukan keberatan resmi dan permohonan pembatalan sertifikat ke BPN Banyuwangi pada Kamis, 13 Maret 2025.
Dalam tuntutannya, warga meminta: Verifikasi administratif dan substantif atas sertifikat tanah; Penghentian sementara segala aktivitas peralihan dan pemanfaatan lahan; Audiensi terbuka dengan pihak terkait, termasuk BWI, Kemenag, Kepala Desa, ahli waris, dan yayasan; Pembatalan Sertifikat Wakaf Nomor 00037 karena dianggap cacat administrasi dan prosedural.
CWW menegaskan bahwa jika dalam 7 hari kerja tidak ada tindak lanjut dari BPN, maka warga akan mengambil langkah hukum lebih lanjut, termasuk Gugatan ke PTUN Surabaya, Laporan dugaan pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang ke Kapolri dan Kejaksaan Agung hingga Pengaduan ke Ombudsman RI dan Kementerian ATR/BPN Pusat.
"Ini bukan sekadar sengketa tanah, tapi tentang hak masyarakat yang telah dirampas. Kami akan berjuang hingga titik akhir," tegasnya. (*)