
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) Universitas Airlangga (UNAIR) di Banyuwangi menggelar Konvensi Legislasi membahas Perda Nomor 5 Tahun 2021 yang mengatur penyertaan modal daerah pada pihak ketiga. Salah satu bahasannya ialah kepemilikan saham Pemkab Banyuwangi di PT. Bumi Suksesindo (BSI).
Diskusi ini berlangsung di Ruang Rapat Khusus DPRD Banyuwangi, Jumat (11/10/2024) malam, menyoroti wacana pengalihan sisa saham milik pemerintah daerah menjadi dana abadi.
Konvensi menyoroti soal wacana penjualan saham Pemkab Banyuwangi di PT. BSI yang rencananya akan dialihkan menjadi dana abadi. Wacana ini dihembuskan sejak setahun lalu.
Padahal pada tahun 2020 silam telah dijual sebesar 4,77% sehingga kepemilikan saham Pemerintah Banyuwangi di perusahaan tambang emas yang terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran itu hanya tersisa 5,23%.
Namun para mahasiswa harus menelan kekecewaan, karena diskusi berlangsung tanpa kehadiran pemangku kebijakan utama. Alasannya anggota DPRD Banyuwangi justru mangkir dari undangan.
Meski demikian diskusi tetap berjalan dengan diisi pemaparan oleh Ketua BLM UNAIR Banyuwangi, Cheisa; Direktur Eksekutif Institute for Youth Economic and Political Studies, Nauval Witartono; serta Safanisa Alifia, kader dari Kemenpora.
"Wacana penjualan saham seluruhnya yang dimiliki Pemda Banyuwangi terhadap PT. BSI ini seharusnya menjadi kajian akademis khusus di kalangan kelompok akademisi lokal, atas dasar itu BLM menginisiasi untuk meninjau kembali Perda Nomor 5 Tahun 2021, terutama soal pengelolaan saham dan pengaruhnya terhadap masyarakat lokal," kata Cheisa.
"Absennya oknum perwakilan DPRD tentu sangat disayangkan mengingat rasanya beliau-beliau ini baru saja selesai dilantik beberapa minggu yang lalu. Terlebih ketidakhadiran perwakilan PT. BSI juga tentu patut menjadi pertanyaan kita semua," sambungnya.
Lalu, Nauval Witartono menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam pembentukan kebijakan strategis, selaras dengan prinsip Good Government Governance.
"Ketidakhadiran DPRD tentu sangat disayangkan, mengingat konvensi ini merupakan inisiatif akademis dari kelompok pemuda terpelajar, yakni mahasiswa untuk turut berpatisipasi dalam melakukan penilaian kebijakan, baik jika saja sifatnya apresiasi maupun evaluasi," kata Nauval.
Safanisa Alifia turut menambahkan bahwa keterlibatan langsung dari pejabat terkait akan memperkaya diskusi serta memberikan perspektif lebih menyeluruh.
"Dengan tidak hadirnya anggota dewan, forum ini memang tetap berjalan, tapi rasa-rasanya kok seperti kurang khidmat. Kehadiran pemangku kebijakan utama seharusnya menjadi kunci dari konvensi ini untuk saling memberikan feedback secara akademis, tentu dengan berbagai rasionalisasi kebijakan yang bisa diterima," ucap Safanisa.
"Keputusan pembuatan kebijakan publik dalam berbagai hal strategis in ikan memang sudah zamannya bersifat bottom up ya, bukan lagi top down karena rasanya kita sudah lama sekali meninggalkan era rezim otoriterian menuju pada demokrasi dan keterbukaan," imbuhnya.
Kendati demikian, konvensi tetap berjalan dengan diskusi terkait tantangan dalam penerapan Perda tersebut, terutama mengenai aspek transparansi dan akuntabilitas. Mahasiswa berharap konvensi ini menjadi awal terbentuknya ruang dialog lebih terbuka antara akademisi dan pemerintah daerah. (*)