
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Sejumlah pakar hukum memberikan tanggapan terkait uji materi Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) di Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya mengenai usia peserta Pemilihan Presiden (Pilpres).
Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H., mantan Hakim MK (2003-2008), menilai penentuan usia peserta Pilpres sebagai "tetek bengek" dan hal yang sepele.
"Itu kan soal masalah sepele, 'tetek bengek', terserah pembentukan undang-undang. Apa coba, mau 35, 30, 25, 40, 60, dan dasarnya apa? Ya diatur di Undang-undang itu saja." kata Jimly, Selasa (26/9/2023) dikutip dari KumparanNews.
Sementara itu, Prof. Dr. H. Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P., Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, berpendapat bahwa perubahan terkait hal ini harus melalui proses legislatif yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif
"Kalau tidak ada pengaturannya bahwa konstitusi itu tidak melarang atau menyuruh, berarti itu tidak melanggar konstitusi. Nah kalau mau diubah dimana? Bukan MK yangmengubah itu DPR, Lembaga Legislatif." kata Mahfud, Selasa (26/9/2023) dikutip dari KumparanNews.
Sedangkan Hakim Konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2015, Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa usia peserta Pilpres bukanlah isu yang terkait dengan konstitusi. Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari proses legislatif dan merupakan domain dari pembuat undang-undang.
"Saya tegaskan, urusan umur itu nggak ada urusan dengan konstitusi, Itu bukan isu pengujian konstitusionalitas. Itu wilayahnya legislatif review, itu legal policy pembuat undang-undang." kata Dewa. Selasa (26/9/2023) dikutip dari krjogjacom.
Menanggapi hal ini, Direktur Utama Oase Law Firm, Sunandiantoro, S.H., M.H., menyampaikan bahwa perubahan persyaratan terkait batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) adalah kebijakan hukum yang dapat diubah, dan kewenangannya terletak pada pembentuk undang-undang, yaitu lembaga legislatif.
"Perubahan persyaratan terkait batas usia Capres & Cawapres itu adalah open legal policy yang kewenangannya ada di pembentuk undang-undang, bukan Mahkamah Konstitusi," pungkas Sunan, dikutip saat sidang di MK, Jumat (29/9/2023). (rq)