Pembukaan Peringatan International Migrant Day (IMD) 2025 di Banyuwangi (Foto: Riqi/BWI24Jam)
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Di balik angka remitansi dan cerita sukses di perantauan, ada jutaan Pekerja Migran Indonesia yang menyimpan kisah perjuangan, risiko, bahkan luka. Suara-suara itu akhirnya mendapat ruang untuk didengar dalam peringatan International Migrant Day (IMD) 2025 atau Hari Pekerja Migran Sedunia yang digelar di Kabupaten Banyuwangi, Senin–Rabu (15–17/12/2025).
Selama tiga hari, ratusan pekerja migran dari Banyuwangi, Jember, Indramayu, Wonosobo, Kebumen, Lombok Tengah hingga Lembata, NTT, berkumpul bukan sekadar untuk memperingati, tetapi untuk menyampaikan pengalaman hidup mereka kepada negara.
Kegiatan ini digagas oleh Migrant CARE, organisasi masyarakat sipil yang selama ini konsisten mengadvokasi hak dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI), dengan dukungan program INKLUSI Kemitraan Australia–Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif serta Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Acara pembukaan berlangsung di Pendopo Sabha Swagata Blambangan. Mewakili Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuwangi, Dwi Yanto, membuka kegiatan bersama Executive Director Migrant CARE Wahyu Susilo. Momentum tersebut semakin bermakna dengan pembacaan pernyataan sikap IMD 2025 oleh Marwiyah dari DESBUMI (Desa Peduli Buruh Migran) Wonosobo, Jawa Tengah.

Dwi Yanto menegaskan bahwa bagi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, pekerja migran bukan sekadar penyumbang devisa, melainkan warga yang wajib dilindungi, baik saat bekerja di luar negeri maupun setelah kembali ke tanah air.
“Yang purna kita bantu dengan keterampilan seperti UMKM-UMKM,” kata Dwi.
Ia menekankan bahwa status keberangkatan tidak menjadi alasan untuk mengabaikan hak perlindungan warga.
“Terhadap legal dan tidak legal, prinsip bagi Pemerintah kabupaten banyuwangi itu adalah warga banyuwangi, jadi semua wajib mendapat perlindungan,” ungkap Dwi.
Menurutnya, perlindungan pekerja migran harus dimulai sejak hulu, yakni dari sistem keberangkatan yang tertata dan berbasis data. Ia pun mendorong penguatan sistem digital nasional agar praktik migrasi nonprosedural dapat ditekan.

Sementara itu, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan, Data dan Publikasi Migrant CARE, Trisna Dwi Yuni Aresta, menyebut Banyuwangi dipilih sebagai lokasi IMD 2025 karena kuatnya praktik kolaborasi antara pemerintah daerah hingga desa dalam mendukung kegiatan Migrant CARE, khususnya melalui program DESBUMI.
“Sinergi antara pemerintah di tingkat kabupaten hingga di tingkat desa itu sangat erat sekali terbukti dengan praktik-praktik baik yang sudah kita jalani bersama,” kata Trisna.
Namun di balik sinergi tersebut, Trisna mengingatkan bahwa migrasi pekerja ke luar negeri kerap didorong persoalan yang bersifat sistemik, mulai dari minimnya lapangan kerja hingga jebakan sindikat perdagangan orang.
“orang pergi ke Kamboja misalnya, ada sindikat perdagangan orang di sana, itu adalah problem yang sangat sistemik utamanya karena minimnya lapangan kerja di Indonesia,” ungkapnya.
Menurut Trisna, apa pun status dan latar belakangnya, pekerja migran tetap memiliki hak yang melekat sebagai warga negara.
“Mereka wajib dilindungi oleh negara karena itu secara konstitusional sudah melekat pada dirinya karena dirinya ialah Warga negara Indonesia,” imbuhnya.
Selama pelaksanaan IMD 2025, berbagai agenda digelar untuk memastikan suara pekerja migran tidak berhenti sebagai cerita, tetapi menjadi dasar kebijakan. Salah satunya melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) khusus pekerja migran.
Selain itu, diskusi mendalam terkait kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan berbagai modus turut digelar. Kegiatan juga dilengkapi dengan bazar UMKM yang menampilkan produk-produk buatan PMI. (rq)

