Cerita Pakde Ucup, Dedikasikan Empat Dekade Lebih Bergelut dengan Bambu

pengrajin_bwi2025.jpg Sokram Yusuf, Perajin Anyaman Bambu di Banyuwangi (Foto: Eko/BWI24Jam)

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Sokram Yusuf, seorang perajin anyaman menceritakan kisahnya yang empat dekade lebih bergelut dengan bambu. Pria 65 tahun ini tak pernah lepas dari bambu yang menjadi penyambung hidupnya 


Sejak usia remaja, bambu sudah menjadi lumbung mencari nafkah sampai ia membina rumah tangga dan memiliki 3 orang anak. Dari bambu itulah kemudian digubahnya menjadi kerajinan anyaman. 


Macam caping, kandang ayam, wadah nasi (tompo), berbagai jenis wadah makanan, kranjang, sampai dengan tusuk sate. 


"Usaha ini sudah saya tekuni sejak usia remaja. Awal mulanya dari iseng buat-buat wadah makanan di rumah tak taunya banyak yang melirik kemudian pesan. Karena laku, akhirnya buat terus sampai sekarang," kata pria yang akrab disapa Pakde Ucup ini kepada BWI24Jam, Rabu (25/06/2025).


Untuk menghasilkan kerajinan berkualitas, Pakde Ucup menggunakan bambu apung yang didapatkan dari pengepul bambu yang ada di Desa/Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Setiap harinya, Pakde Ucup mengaku mampu memproduksi sekitar 20-25 buah anyaman bambu per jenis, tergantung pada pesanan. 


Produk-produk seperti caping, wadah nasi masih digemari dan laris di pasaran. "Paling banyak itu buat capel (caping) atau topi orang ke sawah. Pelanggan biasanya langsung kesini atau memang dijual kembali oleh tengkulak," ungkapnya.


Menurut Pakde Ucup, hasil kerajinan ini masih dipasarkan di seputaran pasar yang ada di Desa/Kecamatan Cluing, Banyuwangi yang menjadi kampung halamannya. Disamping pasar desa sebelah yang ada di Desa Jajag maupun Benculuk. Ditanya soal pemasaran digital, ia mengaku gaptek.


"Kok dipasarkan lewat hape (handphone), pegang aja gak bisa. Taunya hape jadul yag tulalit buat nelfon aja atau untuk Nerima pesanan dari pelanggan," katanya.


Untuk harga, Pakde Ucup mematok tak sebegitu mahal. Menyesuaikan jenis anyaman yang dibuat. Anyaman bambu dengan harga mulai dari Rp3 ribu hingga Rp25 ribu per buah, tergantung bentuk dan ukurannya.


Namun, usaha ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu kesulitan utama adalah munculnya jamur dan bintik hitam pada produk saat musim hujan. Untuk mengatasi masalah ini, Pakde Ucup memiliki cara tradisional yaitu dengan mengasapi barang-barang yang sudah jadi.


"Kalau musim hujan memang sering muncul jamur atau bintik hitam. Biasanya kami mengasapinya supaya tetap awet," ungkapnya.


Kendati sudah menjadi penyambung hidup keluarganya sampai menyekolahkan anak hingga tamat SMA akan tetapi tak ada satupun dari mereka meneruskan otak-otik kerajinan bambu ini. Bisa dibilang kerajinan ini terancam punah di kampung Trembelang, mengingat Pakde Ucup menjadi satu-satunya perajin anyaman dari bambu.


Sering diterpa badai asma, Pakde Ucup terkadang harus menepi sejenak. Jika sudah sehat barulah dirinya kembali meneruskan anyaman yang dibuat.


Menurut Pakde Ucup, kerajinan anyaman bambutidak hanya menjadi sumber penghasilan bagi keluarganya melainkan juga tetapi juga melestarikan warisan budaya lokal agar tak tergerus oleh zaman.


"Sampai tangan ini tak kuat barukah saya akan berhenti membuat anyaman bambu. Ini tak hanya soal hasil melainkan juga melestarikan warisan nenek moyang," pungkasnya. (ep)