OPINI: All Eyes on Carla Kalibaru, Upaya Mendatangkan Keadilan! Oleh: Dendy Wahyu Anugrah*

siswi_korban_rudapaksa_pembunuhan_di_kalibaru_banyuwangi2024-2025.jpg TKP Siswi MI Korban Dugaan Pemerkosaan-Pemunuhan di Wilayah Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi (Foto: Eko/BWI24Jam)

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Jika saat ini Indonesia berada di masa kegelapan (dark age), sudah semestinya wilayah yang terletak di pedalaman dan paling ujung mengalami “gelap gulita”.


Tagar #IndonesiaGelap yang menyeruak di permukaan itu merupakan simbol kekecewaan, kesedihan, dan kemarahan yang diciptakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kendati rasa kecewa dan sakit hati terhadap berbagai kebijakan pemimpin itu direpresentasikan melalui simbol, faktanya realitas yang terjadi lebih dari sekedar kegelapan.


Situasi yang gelap dan penuh kabut berduri itu, hari ini terjadi di daerah paling timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Sebagaimana daerah lain, di balik kemegahan dan “gegap gempita”-nya wisata, kuliner, dan kebudayaan yang ada di Banyuwangi, masih banyak permasalahan yang belum rampung dan menemukan kejelasan.


Salah satunya, kasus pemerkosaan dan pembunuhan bocah berusia tujuh tahun di Kecamatan Kalibaru yang bernama: Carla Nur Anindita.


Sampai detik ini, pelaku dugaan pemerkosaan dan pembunuhan gadis cilik itu belum juga ditemukan. Pihak kepolisian menyebutkan beberapa alasan mengenai kelambanan penemuan pelaku, dan dengan demikian, pelaku belum juga terlihat “batang-hidung”-nya.


Dan untuk memunculkan kembali kasus yang sangat tidak manusiawi ini, sebagai masyarakat sipil yang (harus) sensitif terhadap segala tindakan yang tidak “memanusiakan manusia”, kita perlu melakukan sesuatu.


Menginjak 100 Hari: Keadilan Tak Kunjung Tiba untuk Carla

Gadis kecil yang mengenakan hijab berwarna putih dan seragam batik khas Madrasah Ibtidaiyah (MI) itu menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan pada Rabu, 13 November 2024 lalu.


Tubuh korban ditemukan tergeletak di tengah kebun yang tak jauh dari rumahnya. Ia sempat dibawa ke klinik oleh keluarga, namun takdir berkata lain. Carla, seorang gadis berusia tujuh tahun, meninggal akibat luka parah di bagian kepala.


Hingga kini, kasus pemerkosaan dan pembunuhan itu, tak kunjung menemukan titik terang. Genap 100 hari kematian Carla, dan pada Jum’at (21/02/2025) kemarin ia baru saja menginjak usia delapan tahun, identitas pelaku belum juga terungkap.


Kedua orang tua Carla, DN (38) dan SA (32), masih tetap menunggu hasil dari proses pencarian pihak kepolisian, dan terus berdoa agar identitas pelaku segera terungkap. 


Melansir dari Detik.com, proses penyelidikan menjadi panjang akibat Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang rusak dan tubuh korban sudah banyak disentuh tangan saat upaya pertolongan. Selain itu, orang tua korban mengaku, bahwa masih sering dimintai keterangan oleh pihak berwajib.


Pada Senin (17/2/2025), ia kembali dimintai keterangan beserta dua anggota keluarga lainnya di waktu yang terpisah. Berkenaan dengan proses penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian, DN hanya bisa menunggu dan berdoa. 


“Kami sekeluarga akan terus menunggu kerja kepolisian. Tidak akan pernah lelah menunggu, terus kami juga berdoa (agar) pelaku segera terungkap. Sudah 100 hari, ini sangat lama memang,” ucap seorang Bapak yang terus menanti keadilan datang untuk anaknya. Dan, ia selalu berharap, agar pihak kepolisian dapat segera mengungkap identitas pelaku yang sesungguhnya.


Dilansir dari Kompas.com, DN menyatakan jika proses hukum yang selama ini dilakukan masih berkutat pada pencarian pelaku yang belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. “Kalau sejauh ini masih dalam pencarian. Masih gitu-gitu aja,” ujar DN. 


Sejauh ini pihak kepolisian telah melakukan serangkaian pendalaman, mulai dari pemeriksaan saksi, mengerahkan anjing pelacak, dan melakukan reka adegan (rekonstruksi). Menurut pernyataan Kasatreskrim Polresta Banyuwangi, Kompol Andrew Vega, pihak kepolisian terus berupaya secara maksimal untuk menemukan titik terang kasus tersebut.


Dalam laporan Detik.com (23/2), Pak Andrew menyatakan: 

“Untuk pendalaman ini intinya untuk memastikan kesesuaian dari keterangan-keterangan yang selama ini sudah dilakukan pemeriksaan, mungkin ada temuan yang baru jadi untuk hasilnya, pada intinya, ini masih dalam proses. Kami terus melakukan pemeriksaan berupaya semaksimal mungkin akan melakukan pengungkapan terhadap kejadian perkara ini.”


Dari laporan media, seperti Detik dan Kompas, serta pernyataan dari Pak Andrew Vega di atas, ada hal yang terus diulang-ulang dan nampak “janggal”. Setidaknya, kejanggalan itu menurut pembacaan saya. Apa yang saya sebut sebagai sebuah kejanggalan itu, misalnya terdapat kalimat: “polisi masih terus melakukan upaya pencarian”, “pihak kepolisian masih melakukan proses penyelidikan”, “pada intinya masih dalam proses”, dan seterusnya. 


Kalimat-kalimat semacam itu cenderung tidak menjawab persoalan, atau tidak memberikan kejelasan kepada publik. Bagaimana mungkin pihak berwajib, dalam hal ini diwakili oleh Pak Andrew Vega, mengatakan kasus ini masih ditindaklanjuti dan dalam proses? Seolah-olah, ada sesuatu yang sengaja tidak dikatakan secara gamblang.


Kalau kita cermat membaca pernyataan Pak Andrew, ia menekankan kata “intinya” dalam memberi penjelasan. “Intinya untuk memastikan kesesuaian dari keterangan” dan “pada intinya ini masih dalam proses”. Pernyataan sebagaimana di atas, dengan merujuk pada kalimat “intinya”, merupakan pernyataan yang tidak menunjukkan suatu kejelasan. Atau dengan kata lain, Pak Andrew tidak mampu menjawab secara sistematis. 


Oleh karena itu, Pak Andrew yang mewakili pihak kepolisian, menggunakan kata “intinya” untuk mempermudah jawaban wartawan. Dari sini, kita dapat menduga, ada sesuatu yang “tidak dikatakan”. Kita dapat menduga sesuatu yang tidak dikatakan itu, misalnya: proses pencarian pelaku menemukan hambatan tertentu; beberapa bukti sudah mengarah kepada seseorang, namun sejauh ini belum melakukan tindakan lebih lanjut; atau “ada sesuatu” yang membuat pihak kepolisian tidak mengatakan kepada publik secara eksplisit.


Beberapa dugaan yang telah saya sebutkan itu, adalah hal yang wajar, jika melihat sejauh ini masih belum ada hasil yang menunjukkan kejelasan kasus Carla.


Viral & Justice: Membangkitkan Kesadaran, Menyemai Keadilan

Di bulan ini, Februari, Carla Nur Anindita telah menginjak usia delapan tahun. Dan, tidak ada hadiah yang lebih membahagiakan Carla dan keluarga selain “keadilan”. Tentu dengan segala upaya yang kita bisa. 


Sebab, keadilan tidak jatuh dari langit, melaikan diraih. Keadilan, tidak bisa ditunggu seperti buah apel yang jatuh dari pohon. Kitalah yang memiliki kewajiban untuk memetiknya. Dalam konteks ini, keadilan yang dimaksud ialah mengungkap identitas pelaku dan menghukum sesuai aturan yang berlaku.


Karena berbagai problem yang begitu kompleks belakangan ini, terutama di Banyuwangi, membuat kasus pemerkosaan dan pembunuhan Carla tertimbun. Bahkan, publik nyaris lupa akan kasus ini. Padahal, kasus ini termasuk dalam permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM).


Saya khusnudzan, bahwa pihak kepolisian telah melakukan penyelidikan secara maksimal. Hanya saja, dengan mengatakan “intinya masih dalam proses penyelidikan” semata, adalah hal yang kurang pas dan tampak samar.


Untuk menangani kasus yang sudah tiga bulan lebih ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan pihak kepolisian, dalam hal ini Polresta Banyuwangi. Kita harus mendesak semua elemen masyarakat untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Tak lupa, Ibu Ipuk Fiestiandani (Bupati), Bapak Mujiono (Wakil Bupati), dan Bapak Made Cahyana (Ketua DPRD Banyuwangi) juga harus turut mengawal kasus ini.


Sebab, mereka memiliki “power” yang tidak dimiliki oleh masyarakat sipil. Saya kira, dengan dorongan dan pengawalan pemerintah, kasus ini akan segera menemukan titik terang. 


Kekuatan yang berada di level atas masih memerlukan bantuan dari arus bawah, yakni masyarakat. Kita sebagai masyarakat Banyuwangi khususnya, juga harus ikut membantu dan mengawal kasus ini. Bagaimana caranya? 


Ya, setidak-tidaknya dengan memviralkan kasus ini di media sosial. 

Gerakan di media sosial, sekarang ini, sangat berpengaruh. Mengingat slogan yang dimunculkan oleh netizen Indonesia: “No Viral, No Justice”. Sehingga dengan terus mencari tahu perkembangan kasus Carla di media massa dan menyebarluaskannya, maka kasus ini akan menjadi fokus bersama. Dengan demikian, kita perlu memviralkan tagline di media sosial: All Eyes on Carla.


Selain itu, peran organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan sangat penting. Karena mereka memiliki peranti yang cukup seperti teori dan metode analisis hukum, filsafat, dan seterusnya, maka kajian serius dengan melihat kasus Carla ini dari berbagai sisi perlu dilakukan.


Jika perlu mengundang advokat kelas wahid, aktivis kenamaan, dan tokoh publik yang mampu membidik kasus ini secara tangkas dan tepat. Adalah sebuah “pengkhianatan intelektual”, jika kaum terpelajar tidak memiliki sensitivitas terhadap isu-isu kemanusiaan.


Oleh karena itu, melakukan sesuatu secara kolektif (sesuai kemampuan dan bidang masing-masing) sangat penting dalam mengawal kasus ini. Agar tindakan kita dapat mendatangkan keadilan (justice) untuk Carla Nur Anindita. 

Khususon ila ruhi Carla Nur Anindita, al-Fatihah... (*)

*Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi