
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Kalender musim tidak lagi dapat diandalkan. Di tengah perubahan iklim yang memporakporandakan ritme tanam dan panen, para petani di wilayah Tapal Kuda mendapati bahwa pengetahuan yang diwariskan turun-temurun lewat Pranata Mangsa kini sering meleset. Musim datang terlalu cepat, atau terlalu lambat. Hujan tak kunjung tiba, atau turun di luar perkiraan. Dalam situasi ini, bukan hanya tanah yang berubah, tetapi juga cara manusia membaca dan memahami alam.
Dalam kondisi ini, pengetahuan tradisional seperti Pranata Mangsa mulai dianggap usang, sementara pendekatan ilmiah modern terbukti tak selalu akurat, tak terjangkau, dan sering kali terlepas dari pengalaman riil masyarakat yang paling terdampak.
Di sinilah seni mengambil posisi. Repertoar Fenologi memposisikan seni pertunjukan sebagai metode pengamatan, pemaknaan, dan penciptaan pengetahuan. Tubuh (yang selama ini ditempatkan sebagai objek yang dipengaruhi alam) diperlakukan sebagai subjek yang aktif: organ sensorik, alat ukur, sekaligus ruang tafsir. Tubuh petani, tubuh seniman, tubuh kota: semua diajak kembali merasakan, mencatat, dan membentuk sistem orientasi baru di tengah gejala yang tak lagi bisa diprediksi.
Melalui pendekatan situs-dan-waktu spesifik, laboratorium fenologi, dan praktik devised theater, proyek ini membuka kemungkinan untuk merumuskan Titèn Baru: sebuah sistem navigasi yang berakar pada perhatian, pencatatan, dan kesadaran kolektif.
Titèn Baru tidak dimaksudkan sebagai nostalgia atas masa lalu, melainkan sebagai upaya merintis praktik hidup yang lebih peka terhadap lanskap, terhadap subjektivitas yang kerap dihapus oleh sains modern, dan terhadap tubuh-tubuh yang selama ini disingkirkan dari sistem produksi pangan.
Dengan Repertoar Fenologi, Studio Klampisan membayangkan seni sebagai infrastruktur alternatif untuk membaca dunia: dari bawah, dari lumpur, dari tubuh yang hidup dan merespons. Sebuah upaya untuk tidak hanya bertahan di dunia yang mendidih, tetapi juga menegosiasikan ulang cara kita memahami waktu, musim, dan kehidupan itu sendiri.
Gagasan-gagasan ini akan diwujudkan dalam rangkaian kegiatan Repertoar Fenologi: Mangsa Iklim Mendidih yang akan berlangsung pada 25–26 April 2025, pukul 16.00–22.00 WIB, di Sawah Padi Belakang Studio Klampisan, Purwoharjo, Banyuwangi.
Diselenggarakan oleh Studio Klampisan bersama para petani, seniman, dan peneliti, program ini dirancang sebagai kerja lintas medan: antara praktik pertunjukan, riset ekologi, dan studi kebudayaan, yang berakar pada lanskap agraris Tapal Kuda dan resonansinya terhadap krisis iklim global.
Selama 2 hari, ladang-ladang di sekitar Purwoharjo menjadi ruang bersama: bukan hanya tempat produksi pangan, tetapi juga tempat produksi pengetahuan dan performativitas. Dalam ruang ini, tubuh dan tanah akan berinteraksi sebagai instrumen pencatatan, penciptaan, dan pembelajaran bersama. Program ini terdiri dari tiga komponen utama yang saling terkait: laboratorium fenologi, seni pertunjukan situs-dan-waktu spesifik, dan simposium seni & agrikultur.
1. Laboratorium Fenologi: Iklim Baru, Titèn Baru
Laboratorium ini merupakan kerja akar rumput yang menempatkan petani sebagai produsen pengetahuan. Dengan menggunakan alat sederhana seperti omplong dan mencatat dengan tangan sendiri, para peserta merekam curah hujan harian, kondisi agroekosistem, dan kehadiran organisme lain di sekitarnya. Proses ini menekankan pentingnya perhatian dan kebiasaan mengamati sebagai dasar dari sistem navigasi baru yang tumbuh dari tubuh, tanah, dan waktu.
Di tengah runtuhnya sistem prediksi cuaca global yang makin tak bisa diakses maupun dipercaya, laboratorium ini berfungsi sebagai medan pembelajaran dan perlawanan halus. Ia merintis Titèn Baru yang tidak bertumpu pada algoritma atau satelit, melainkan pada ingatan, pencatatan, dan pengalaman.
2. Seni Pertunjukan Situs-dan-Waktu Spesifik
Pertunjukan ini tidak lahir dari naskah, tapi tumbuh dari sawah: dari lumpur yang diinjak, dari pola tanam yang bergeser, dari ritme tubuh petani dan seniman yang hidup bersama dalam lanskap yang sama. Menggunakan pendekatan devised theater, karya ini dibentuk melalui improvisasi kolektif, interaksi dengan ruang, dan respons tubuh atas ekosistem sekitarnya. Pertunjukan ini tidak bisa dipindahkan; ia bergantung pada tempat, waktu, dan perubahan yang terjadi di dalamnya.
Tubuh para performer, yang berasal dari berbagai wilayah seperti Banyuwangi, Jember, Jakarta, Yogyakarta, hingga Jambi, diposisikan sebagai sensor yang menyerap dan menginterpretasi lanskap. Mereka tidak “memerankan” perubahan iklim, tetapi mengalami dan meresponsnya secara langsung: lewat gerak, napas, keringat, dan diam. Pertunjukan ini menjadi ruang di mana lanskap, tubuh, dan waktu saling bernegosiasi, saling menciptakan.
3. Simposium Seni & Agrikultur dalam Perubahan Iklim
Simposium ini membuka ruang refleksi dan pertukaran gagasan lintas bidang: antara seniman, petani, ilmuwan, aktivis, dan publik. Di tengah narasi besar tentang krisis iklim yang seringkali terasa abstrak dan jauh, forum ini menawarkan pendekatan yang berbasis pengalaman konkret: pengamatan mikro, ritme kerja sehari-hari, dan cara-cara lokal memahami gejala. Diskusi tidak diarahkan pada kesimpulan, tetapi pada keberlanjutan dialog, pertukaran perspektif, dan perawatan cara tahu yang beragam.
Di tengah dunia yang semakin dikendalikan oleh satu sistem pengetahuan tunggal, simposium ini menjadi ruang untuk mempertanyakan, membuka kemungkinan, dan menyambung ulang relasi antara seni, pangan, dan keberlanjutan.
Melalui kerja lintas disiplin ini, Repertoar Fenologi: Mangsa Iklim Mendidih mencoba menjawab pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh teknologi atau kebijakan semata: bagaimana cara bertahan ketika musim tak lagi dapat diprediksi? Bagaimana cara hidup ketika pengetahuan yang kita warisi tak lagi cukup, dan sistem yang kita andalkan tak lagi relevan? Di tengah dunia yang mendidih (secara harfiah maupun metaforis), proyek ini menghadirkan seni sebagai alat bantu navigasi.
Seni di sini bukan hiburan atau simbolisasi. Ia adalah kerja yang melelahkan dan penuh pertaruhan, sama seperti bertani. Ia adalah cara untuk mendekati ketidakpastian bukan dengan kepastian, tetapi dengan perhatian. Dan dalam perhatian itu, tubuh yang selama ini diremehkan, diabaikan, atau dilupakan, kembali menjadi pusat dari proses penciptaan makna.
"Ini bukan teater dokumenter seperti yang biasa dikerjakan Studio Klampisan," ujar Abi Muhammad Latif, Produser dan Sutradara Repertoar Fenologi.
"Namun kerja dokumentasi iklim menjadi katalisator pertunjukan. Gaya dokumentaris dilampaui dengan dialektika pemahaman dan sikap antar kolaborator — seniman maupun petani. Dialektika sebelum dan saat pertunjukan terjadi. Penjajaran dan jejalin teks lokal-global diperlakukan sebagai upaya keluar/masuk dari/ke perubahan iklim, agrikultur, dan pranata mangsa dalam pertunjukan situs-dan-waktu spesifik ini. Konsep ini diturunkan menjadi intervensi artistik dan serangkaian score pertunjukan yang mencoba mempertanyakan ulang, memprovokasi, dan mencoba memaknai praktik alternatif antara seni dan lingkungan." imbuhnya.
Repertoar Fenologi: Mangsa Iklim Mendidih merupakan salah satu simpul dalam jejaring kerja kolektif untuk memahami ulang dunia yang sedang berubah. Ia hadir untuk merawat pertanyaan: tentang lanskap yang tak lagi sama, tentang tubuh yang belajar kembali merasa, dan tentang kemungkinan-kemungkinan hidup di tengah musim yang tak menentu. Melalui kerja lintas medan ini, Studio Klampisan berharap untuk membuka ruang-ruang baru, di mana seni, pengetahuan lokal, dan pengalaman ekologis dapat saling menyeberangi batas, saling menyentuh, dan saling menguatkan. (*)