Gobak Sodor: Riuh Tawa yang Kian Hilang, Tergusur Joget dan Layar Gadget

gobak_sodor.jpg Ilustrasi AI (Foto: BWI24Jam)

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Sore pernah menjadi waktu paling ditunggu anak-anak. Saat matahari mulai condong ke barat, halaman rumah dan tanah lapang berubah menjadi arena permainan.


Di sana, tawa dan teriakan riang bersahutan saling kejar, saling halang dalam satu permainan sederhana bernama Gobak Sodor. Namun kini, suara itu nyaris tak terdengar lagi. Lapangan yang dulu ramai berubah sepi. 


Anak-anak tak lagi berlari di bawah langit senja, mereka kini sibuk menatap layar ponsel, menirukan joget sound horeg atau tenggelam dalam dunia gim daring.


Padahal, Gobak Sodor bukan sekadar permainan. Ia adalah pelajaran hidup yang dikemas dengan tawa. Dua kelompok kecil, masing-masing berisi tiga hingga lima anak, saling beradu strategi untuk melewati garis penjagaan tanpa tersentuh.


Gerak lincah, kecerdikan, dan kerja sama menjadi kunci. Tak ada gawai, tak ada internet, hanya semangat, debu tanah, dan kebersamaan.


“Dulu, sore-sore pasti ramai anak-anak main Gobak Sodor, egrang, atau bentengan. Sekarang sudah jarang. Banyak yang lebih suka main HP atau ikut joget sound horeg,” tutur Mbah Temon (80), warga Kecamatan Cluring, Banyuwangi.


Matanya menerawang jauh, seolah menembus masa kecil yang sederhana namun penuh tawa. Masa dimana Mbah Temon tak pernah sumpek ataupun bosan saat bertemu teman sebaya. 


“Kalau dulu permainan itu bikin badan sehat, hati senang, dan anak-anak jadi akrab satu sama lain. Sekarang sudah beda, lebih banyak yang sibuk sendiri,” ujarnya


Mbah Temon khawatir, jika tidak dijaga, Gobak Sodor hanya akan tinggal cerita. Tergerus perkembangan zaman yang kian tak terbendung.


“Sayang kalau anak cucu kita nanti cuma kenal game di layar, tapi tidak pernah merasakan serunya berlari di tanah lapang,” katanya.


Meski perlahan terlupakan, masih ada yang berusaha menyalakan kembali semangat permainan tradisional ini. Di SD Negeri Tampo 2, Desa Tampo, Kecamatan Cluring, tawa anak-anak kembali terdengar. 


Mereka berlari, menjerit gembira, dan saling menantang dalam permainan Gobak Sodor yang dihidupkan kembali oleh guru dan komunitas budaya.“Begitu lihat mereka main Gobak Sodor, saya langsung teringat masa kecil,” kata Subhan, salah satu wali murid. 


“Dulu, hampir setiap hari permainan ini dimainkan, baik di sekolah maupun di rumah.” imbuhnya.


Permainan ini mengajarkan banyak hal tentang strategi, kebersamaan, sportivitas, dan percaya pada kawan. Nilai-nilai yang mulai luntur di tengah derasnya arus modernisasi.


Kini, Gobak Sodor mungkin tak lagi menjadi permainan wajib di setiap sore. Namun selama masih ada anak-anak yang berlari di bawah langit jingga dan tertawa bersama, permainan itu belum benar-benar mati. 


Ia hanya menunggu untuk diingat kembali sebagai bagian dari masa kecil yang tak seharusnya hilang begitu saja. Berharap jadi memori yang diceritakan lintas generasi. (ep)