Tradisi Mantu Kucing di Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi (Foto: Istimewa/BWI24Jam)
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Tradisi unik kembali digelar warga Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, Sabtu (15/11/2025). Mereka mengadakan mantu kucing, sebuah prosesi adat turun-temurun yang dilakukan untuk menyambut datangnya musim penghujan. Tradisi yang sudah berlangsung hampir satu abad ini tetap dipertahankan dan menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat setempat.
Sejak pagi, suasana dusun tampak ramai. Warga berdatangan membawa sesajen, air, dan perlengkapan ritual lainnya. Kesenian jaranan turut mengiringi perjalanan warga menuju Sumber Umbul Sari, pusat pelaksanaan tradisi mantu kucing yang berada di tepi hutan jati. Dentuman musik jaranan, suara terompet, dan sorak sorai warga menambah semarak prosesi.
Di tengah kerumunan itu, dua kucing satu jantan dan satu betina menjadi sorotan utama. Kedua kucing digendong warga menuju sumber air sebelum akhirnya ditempatkan di titik utama prosesi. Meski disebut “mantu”, tidak ada prosesi pernikahan seperti manusia. Yang ada hanyalah doa-doa yang dipanjatkan sesepuh desa agar musim penghujan membawa berkah dan keselamatan.
Sesepuh adat Grajagan, Misman, menjelaskan tradisi ini sudah ada sejak tahun 1930-an, ketika wilayah Grajagan dilanda kemarau panjang.
“Dulu mantu kucing dilakukan untuk memohon hujan. Saat itu warga betul-betul membutuhkan pertolongan karena kemarau terlalu panjang,” ujarnya.
Kucing dipilih bukan tanpa alasan. Hewan ini diyakini memiliki kepekaan terhadap perubahan cuaca, sekaligus simbol keseimbangan antara alam dan manusia. Prosesi simbolik dua kucing ini menjadi harapan akan turunnya hujan sekaligus permohonan keselamatan.
Makna tradisi pun ikut berkembang. Kepala Desa Grajagan, Supri, menyebut bahwa mantu kucing kini lebih dipandang sebagai ungkapan syukur atas datangnya musim hujan.
“Sekarang bukan hanya soal meminta hujan. Tradisi ini jadi momentum warga untuk berkumpul, bersyukur, dan menghormati peninggalan leluhur. Intinya melestarikan budaya,” jelasnya.
Di luar sisi ritual, tradisi ini juga membawa kesan tersendiri bagi warga yang menonton. Agus Winardi, salah satu warga yang hadir, mengaku senang melihat bagaimana masyarakat masih kompak menjaga budaya lokal.
“Saya terharu sekaligus terhibur. Momen ketika kucingnya dimandikan itu lucu, tapi tetap terasa sakral. Yang paling penting, warga bisa kumpul lagi, rukun, dan merayakan tradisi bareng-bareng,” ujar Agus.
Menurutnya, tradisi mantu kucing menciptakan suasana guyub yang jarang terjadi di era sekarang.
“Anak-anak senang, orang tua bisa saling ngobrol. Rasanya seperti kembali ke masa kecil. Ada nilai kebersamaan yang muncul di sini,” tambahnya.
Tradisi mantu kucing dilaksanakan setahun sekali, biasanya pada November atau Desember. Selain menjadi prosesi spiritual, ritual ini kini juga menjadi tontonan budaya yang menarik minat warga dari desa sekitar.
Bagi masyarakat Grajagan, mantu kucing bukan hanya seremoni adat. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini bukti bahwa budaya lokal bisa bertahan, berkembang, dan tetap relevan bagi generasi berikutnya. (ep)

