IPNU Banyuwangi Prihatin Tragedi SMAN 72 Jakarta: Pendidikan Harus Kembalikan Rasa Aman di Sekolah

6ipnu.jpg IPNU Banyuwangi Prihatin Tragedi SMAN 72 Jakarta (Foto: Istimewa/BWI24Jam)

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PC IPNU) Kabupaten Banyuwangi menyampaikan rasa duka dan keprihatinan mendalam atas peristiwa tragis yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Insiden ledakan di lingkungan sekolah tersebut tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga menyentuh sisi paling dalam dari persoalan dunia pendidikan kita: rapuhnya rasa aman di ruang belajar.


Direktur Student Crisis Center (SCC) PC IPNU Banyuwangi, Rekan M. Fathur Rozak, menyatakan bahwa tragedi ini bukan sekadar kasus kriminal, melainkan cermin dari masalah sosial dan psikologis yang selama ini terabaikan.


“Kami mengungkapkan duka yang mendalam atas peristiwa tragis di SMAN 72 Jakarta. Semoga para korban memperoleh kesembuhan, baik secara fisik maupun psikologis. Kejadian ini menyentuh akar persoalan yang lebih luas tentang bagaimana sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap siswa,” ujarnya.


Menurutnya, sekolah selama ini kerap dianggap sebagai tempat moral dan intelektual, namun praktik perundungan (bullying) masih sering dianggap hal biasa atau bahkan dianggap bagian dari dinamika pelajar. Padahal, di balik tawa dan aktivitas siswa, bisa saja ada jiwa yang sedang menjerit dalam diam.


“Pendidikan tidak cukup hanya memindahkan ilmu dari guru ke siswa. Pendidikan harus kembalikan rasa aman di sekolah dan sekolah seharusnya menjadi tempat di mana setiap anak merasa dihargai, dilindungi, dan bebas berkembang tanpa rasa takut,” tambah Fathur.


Sementara itu, Ketua PC IPNU Banyuwangi, Rekan Dwi Ainul Haqiky, menegaskan bahwa kasus di SMAN 72 merupakan alarm keras bagi dunia pendidikan untuk lebih serius dalam menangani kekerasan verbal dan sosial di lingkungan sekolah.


“Bullying mengikis rasa aman siswa. Ketika ejekan dan pengucilan terjadi terus-menerus tanpa intervensi guru atau sekolah, tekanan psikologis bisa berubah menjadi tindakan ekstrem yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain,” ungkapnya.


Ainul menilai tragedi ini mencerminkan kegagalan kolektif dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat dan berempati.


“Di tengah semangat pendidikan berkarakter, ternyata banyak sekolah yang justru gagal menumbuhkan karakter empati dan kepedulian. Kita terlalu sibuk mengejar angka, nilai, dan prestasi akademik, tetapi lupa mengajarkan welas asih dan keberanian untuk saling melindungi,” lanjutnya.


Melalui pernyataan ini, PC IPNU Banyuwangi mengajak seluruh pihak: guru, siswa, orang tua, dan pemangku kebijakan untuk menjadikan tragedi di SMAN 72 Jakarta sebagai momentum refleksi bersama.


“Sekolah harus kembali menjadi rumah yang aman bagi setiap pelajar. Saat ruang aman hilang, pendidikan kehilangan rohnya, dan sekolah kehilangan maknanya,” tutup Rekan M. Fathur Rozak. (*)