Sound Horeg Gunakan Penjor dan Baju Adat, Ketua PD KMHDI Jatim: Itu Bentuk Degradasi Budaya

kmhdi.jpg Ketua Pimpinan Daerah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PD KMHDI) Jawa Timur Tri Budi Waluyo (Foto: Istimewa/BWI24Jam)

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Ketua Pimpinan Daerah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PD KMHDI) Jawa Timur, Tri Budi Waluyo, angkat suara terkait maraknya penggunaan baju adat, tarian sakral dan penjor dalam pertunjukan sound horeg, yang menurutnya telah keluar dari nilai-nilai kesucian dan kearifan budaya lokal.


Dalam pernyataannya, Budi menegaskan bahwa tren ini merupakan bentuk penyimpangan budaya yang serius dan mencederai makna luhur dari simbol-simbol tradisional yang selama ini dijaga secara turun-temurun oleh masyarakat adat.


"Kami sangat menyayangkan adanya penggunaan busana adat dan tari sakral Hindu dalam konteks hiburan bebas seperti sound horeg dan pawai budaya yang menyimpang dari pakemnya. Ini bukan lagi soal estetika, tetapi soal etika. Ketika simbol budaya yang sakral dipertontonkan dalam suasana pesta tanpa makna, itu bentuk degradasi, pelecehan terhadap budaya dan warisan leluhur kita," kata Budi, Jumat (01/08/2025)


Ia menjelaskan bahwa baju adat dan tarian sakral memiliki posisi penting dalam struktur sosial dan spiritual Masyarakat yang berbudaya, yang tidak seharusnya digunakan secara sembarangan. Tarian sakral seperti , Rangda, Rejang, Pendet, atau Baris misalnya, menurutnya diciptakan sebagai bagian dari upacara keagamaan, bukan sekadar pertunjukan seni.


Perlu diingat bahwasanya, lanjut Budi, sound horeg maupun pawai budaya tidak hanya ditonton oleh kalangan dewasa saja tetapi juga kalangan anak-anak, sudah sepatutnya harus memperhatikan aspek-aspek edukasi.


"Kami tidak anti hiburan, tetapi harus ada garis yang jelas antara budaya sakral dan budaya populer. Ketika garis itu dihapus, maka identitas budaya akan kabur dan generasi muda akan kehilangan arah," tambah Budi.


PD KMHDI Jawa Timur mendorong adanya edukasi budaya yang berkelanjutan di kalangan generasi muda dan pelaku hiburan, serta meminta pemerintah daerah untuk memberikan perhatian lebih terhadap fenomena ini.


"Pemerintah perlu hadir, baik dalam bentuk regulasi maupun pembinaan. Sound horeq boleh berkembang sebagai ekspresi seni modern, tetapi jangan mengorbankan nilai-nilai luhur budaya kita sendiri," pungkasnya.


Selain itu, Budi juga menyoroti fenomena penggunaan simbol sakral lainnya seperti penjor dalam konteks yang tidak semestinya. Ia menyayangkan penjor yang merupakan simbol dharma dan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, justru dijadikan hiasan semata dalam panggung hiburan tanpa makna spiritual.


Menurutnya, tindakan ini berisiko memudarkan pemahaman generasi muda terhadap filosofi mendalam di balik setiap unsur budaya Bali dan Hindu Nusantara.


“Perlu diingat penggunaan penjor harus dibedakan penggunaannya mana yang dibuat untuk hiasan dan mana yang digunakan untuk upacara keagamaan karena dalam setiap komponen dalam penjor memiliki nilai-nilai filosofis, penjor lebih tepatnya digunakan untuk upacara adat atau keagamaan," tegasnya.


Sebagai solusi, Budi menyarankan penggunaan penjor bisa diganti dengan penggunaan atribut-atribut lain seperti umbul-umbul atau semacamnya. 


Dengan pernyataan ini, KMHDI Jatim berharap semua pihak, termasuk pelaku seni dan pemerintah, bisa lebih berhati-hati dan bijak dalam mengemas budaya tanpa menghilangkan makna dan kesuciannya. (rq)