Ilustrasi AI
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Kasus guru honorer di Banyuwangi yang mendapatkan teguran administrasi setelah memberikan komentar di media sosial mengenai tambang emas Tumpang Pitu mengundang keprihatinan sekaligus refleksi mendalam.
Peristiwa ini bukan sekadar persoalan internal sekolah, melainkan menyentuh persoalan yang lebih luas, relasi kuasa dalam dunia pendidikan, kebebasan berekspresi, serta posisi rentan guru honorer di Indonesia.
Guru honorer tersebut dipanggil dan diminta menjalani Berita Acara Pembinaan (BAP) oleh kepala sekolah akibat komentar yang dituliskannya di Instagram terkait isu tambang Tumpang Pitu.
Setelah kasus ini menjadi perhatian publik, pihak sekolah mengakui bahwa langkah tersebut berlebihan dan menyampaikan permintaan maaf. Meski demikian, jejak persoalan yang ditinggalkan tidak serta-merta hilang.
Tambang emas Tumpang Pitu sendiri merupakan isu publik yang telah lama menjadi perdebatan di Banyuwangi. Berbagai elemen masyarakat mulai dari warga pesisir, akademisi, hingga aktivis lingkungan menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan.
Dalam konteks ini, komentar seorang guru di media sosial tidak dapat dilepaskan dari haknya sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam diskursus publik.
Persoalan muncul ketika otoritas pendidikan merespons ekspresi personal tersebut dengan pendekatan administratif. Guru honorer bukan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk pada aturan disiplin ketat terkait pembatasan pendapat di ruang publik.
Ketika mekanisme pembinaan diterapkan tanpa dasar regulasi yang jelas, hal ini berpotensi menciptakan preseden yang keliru dan menimbulkan rasa takut di kalangan tenaga pendidik. Di sisi lain, guru memang memiliki tanggung jawab moral dan etika profesi.
Namun etika tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai alat pembatas kebebasan berpikir. Apalagi jika ekspresi tersebut disampaikan di luar jam kerja, melalui akun pribadi, dan tidak mengatasnamakan institusi sekolah.
Kasus ini memperlihatkan kerentanan struktural guru honorer. Status kerja yang tidak pasti, kesejahteraan yang minim, dan ketergantungan pada kebijakan pimpinan sekolah membuat mereka berada pada posisi tawar yang lemah.
Teguran administratif, meskipun kemudian dicabut, tetap menyisakan pesan simbolik bahwa suara kritis dapat berujung pada sanksi.
Pendidikan sejatinya bertujuan menumbuhkan nalar kritis dan kesadaran sosial. Jika guru sebagai aktor utama pendidikan dibatasi ruang berpikir dan berpendapatnya, maka nilai-nilai tersebut berpotensi tereduksi.
Sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi dialog, bukan ruang yang membungkam perbedaan pandangan.
Oleh karena itu, pemerintah daerah dan dinas pendidikan perlu menyusun pedoman yang jelas mengenai penggunaan media sosial oleh tenaga pendidik, dengan membedakan secara tegas antara kapasitas personal dan profesional. Lebih jauh, negara perlu memberikan perlindungan hukum dan jaminan hak sipil bagi guru honorer.
Kasus di Banyuwangi hendaknya menjadi pelajaran bahwa menjaga etika profesi tidak boleh mengorbankan kebebasan berekspresi, dan menegakkan disiplin tidak semestinya mematikan nalar kritis. Pendidikan yang sehat hanya dapat tumbuh di ruang yang merdeka. (*)
*Dwi Purnomo, Mahasiswa Buddhis Indonesia

