OPINI: Pemandu Karaoke, Sang Penghibur yang Sering Disalahpahami Oleh: Dendy Wahyu Anugrah*

20250124_143459.jpg Foto Dandy Wahyu Anugrah

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Di penghujung tahun 2024, Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) Banyuwangi memfasilitasi pelatihan yang memunculkan respon (pro-kontra) dari sebagian besar masyarakat Banyuwangi. Bahkan, beberapa akun media sosial setingkat nasional juga mengabarkan pelatihan itu, seperti @lambe_turah, @jakarta.keras, dan @ctd.insider.


Pelatihan yang menjadi sorotan itu, merupakan pelatihan khusus bagi Lady Companion (LC) atau pemandu karaoke yang bekerja di salah satu tempat hiburan (karaoke keluarga) yang ada di Banyuwangi. Melansir BWI24Jam.co.id, pelatihan yang diselenggarakan pada 20-26 November 2024 tersebut bertujuan untuk meningkatkan skill atau kemampuan pelayanan Lady Companion—selanjutnya ditulis LC.


Para LC yang berjumlah 16 orang itu dilatih secara profesional di Ashika, salah satu tempat karaoke yang bertempat di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.


Tak lama kemudian, kabar pelatihan pemandu karaoke itu menyeruak dan bertebaran di media massa, sehingga menjadi buah bibir masyarakat Banyuwangi. Beberapa tokoh publik dan orang nomor wahid di Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, ikut angkat suara perihal pelatihan khusus itu.


Menanggapi “gonjang-ganjing” ini, masyarakat Banyuwangi seakan terseret ke dalam dua kubu: pro dan kontra. Namun, sejauh ini, anggapan mereka terhadap Lady Companion masih cenderung miring dan kurang berdasar—jika tidak disebut “dangkal”.


Karena masih banyak masyarakat kita yang terjebak ke dalam apa yang disebut “cognitive bias” (bias dalam berpikir). Bias kognitif, dalam Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika (2020), merupakan kecenderungan seseorang untuk menarik kesimpulan atau memberi penilaian yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah rasionalitas, atau juga disebut “sesat pikir” (logical fallacy).


Oleh sebab itu, sebelum memberi penilaian, kita perlu memahami lebih dulu pengertian dan konteks persoalan yang tengah kita hadapi. Maka, ihwal “Pelatihan Mbak-mbak LC” yang menjadi buah bibir masyarakat belakangan ini, kita perlu memperjelas apa itu Lady Companion.


Lady Companion: Sang Penghibur yang Sering Disalahpahami

Selama ini, menjadi pemandu karaoke (LC) cenderung dianggap sebagai pekerjaan yang najis dan nista. Bagaimana tidak, tidak sedikit dari masyarakat kita menganggap pemandu karaoke (Jawa: Purel) itu sama dengan pelacur. Atau, ketika mendengar istilah “LC” atau “Purel”, secara grusah-grusuh mereka akan berpandangan merendahkan dan melontarkan kalimat-kalimat yang peyoratif.


Dan, ironinya, pandangan semacam itu dipakai oleh kebanyakan orang. Dengan demikian, akibatnya ketika seseorang menanggapi persoalan tentang Mbak-mbak LC, hanya berlandaskan “anggapan umum”.


Padahal, anggapan umum belum tentu benar adanya. Hanya dengan mengikuti anggapan umum semata, tanpa menimbang tepat atau tidaknya anggapan itu, dalam kajian logika, disebut social proof atau herd instinct (insting kerumunan).


Jika menelusuri dari berbagai sumber, Lady Companion adalah istilah yang digunakan untuk perempuan yang memandu, menghibur, dan menemani tamu karaoke dalam bernyanyi. Dengan demikian, LC merupakan pekerjaan yang bertujuan untuk menghibur, memandu, dan menemani tamu ketika karaokean.


Tentu, tiga kata kerja “menghibur”, “memandu”, dan “menemani” itu tidak bisa secara serampangan di-identikkan dengan “melacurkan” diri. Kalau toh ternyata terdapat beberapa kasus yang menunjukkan bahwa terdapat Mbak-mbak LC yang “jualan”, itu persoalan lain—di luar tanggung jawab usaha karaoke. Sebab, tempat karaoke memiliki legalitas dan di bawah management tertentu.


Secara yuridis, pemandu karaoke memiliki standar kompetensi kerja yang dapat kita lihat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 369 Tahun 2013 Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Kategori Kesenian, Hiburan dan Rekreasi Golongan Pokok Kegiatan Olah Raga dan Rekreasi Lainnya Taman Bertema atau Taman Hiburan Kelompok Usaha Karaoke Profesi Pemandu Karaoke.


Pada Bab II disebutkan, bahwa tujuan utama kompetensi pemandu karaoke ialah menyediakan layanan hiburan dan rekreasi karaoke dengan pemandu karaoke yang berkualitas dan profesionalisme.


Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pemandu karaoke atau LC itu diperkuat dengan Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No. 11 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Pariwisata.


Kemudian, di Banyuwangi, tempat hiburan karaoke keluarga dan pemandu karaoke tersebut juga diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi No. 10 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Tempat Hiburan Pasal 7 (2) dan mengenai pajak hiburan karaoke keluarga diatur dalam Peraturan Bupati Banyuwangi No. 62 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati No. 81 Tahun 2016 Tentang Pembayaran dan Pelaporan Pajak Parkir, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan Secara Elektronik. 


Dari definisi dan landasan yuridis yang telah diuraikan di atas, kita dapat memahami jika pemandu karaoke atau LC itu merupakan profesi. Dan, sudah barang tentu memiliki standar kompetensi yang perlu ditingkatkan, sebagaimana juga yang terdapat dalam profesi lainnya. Namun, kendati demikian, LC bukanlah profesi yang diidam-idamkan masyarakat pada umumnya.


Sebagian besar perempuan yang bekerja sebagai LC, sebelumnya telah berusaha mencari pekerjaan lain, seperti yang dialami Alamanda Cathartica (24), salah satu LC di Banyuwangi yang ditulis oleh Fareh Hariyanto dalam Mojok.co beberapa tahun lalu.


Sehingga, bekerja sebagai LC merupakan pilihan terakhir seorang perempuan yang berusaha dengan sekuat tenaga dan kekuatan tekad untuk menyambung kehidupannya. Saya melihat, menjadi LC bukanlah keinginan mereka. Hanya saja, sistem sosial yang menyeret mereka ke dalam dunia karaokean yang acap kali dianggap “menjijikkan” menurut kebanyakan orang.


Padahal, peran Mbak-mbak LC tidak lain adalah penghibur bagi mereka yang nyaris putus asa, menemani mereka yang merasa kesepian, dan memberi sejengkal kebahagiaan bagi mereka yang sudah terlalu lama disakiti. Namun sayang, apa yang dilakukan Mbak-mbak LC sering disalahpahami oleh sebagian besar masyarakat kita. 


Pertikaian Para Elite Banyuwangi: Sebuah Tinjauan Kritis

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, bahwa pelatihan khusus pemandu karaoke atau LC ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat hingga para elite pemerintah di Banyuwangi. Beberapa tanggapan yang menjadi sorotan publik seperti, pernyataan Bupati Banyuwangi (Ipuk Fiestiandani), Kepala BPVP Banyuwangi (Arsad), dan Wakil Ketua DPRD Banyuwangi (Michael Edy Hariyanto).


Melansir BWI24Jam.co.id, Ipuk Fiestiandani memberikan tanggapan atas pelatihan khusus bagi pemandu karaoke tersebut, bahwa ia menyayangkan pelaksanaan pelatihan dan menegaskan bahwa hal itu akan menjadi bahan evaluasi.


Lebih lanjut, Ipuk menambahkan jika masih banyak sektor lain seperti UMKM, tata boga, salon, atau pelatihan keterampilan lain yang juga membutuhkan perhatian dan fasilitas pelatihan.


Senada dengan tanggapan orang nomor satu di Banyuwangi tersebut, Michael Edy Hariyanto, selaku Wakil Ketua DPRD Banyuwangi juga sangat menyayangkan terkait dengan adanya pelatihan LC yang diselenggarakan BPVP Banyuwangi. Melansir Kompas.com, Michael menganggap bahwa pelatihan itu tidak etis dan ber-imej buruk. “Imej-nya buruk kok malah dibina,” demikian salah satu pernyataan yang dilontarkan Michael.


Kemudian, Kepala BPVP Banyuwangi, Arsad, telah memberikan penjelasan kepada publik bahwa tujuan utama pelatihan tersebut adalah meningkatkan keterampilan pelayanan, kualitas SDM dan profesionalisme para peserta (pemandu karaoke).


Arsad menambahkan, pelatihan yang diikuti oleh 16 peserta itu, merupakan bagian program Tailor Made Training (TMT) dari Kementerian Tenaga Kerja, di mana pelaksanaannya didasarkan pada usulan masyarakat. Sehingga, dalam hal ini, BPVP Banyuwangi hanyalah fasilitator, sedangkan yang mengajukan pelatihan itu ialah pihak Ashika Pancoran, yakni Zaenal Muttaqin.


Ketika membaca beberapa tanggapan di atas (khususnya pernyataan Bapak Michael), bahkan yang berjibun di media sosial saat ini, kita akan banyak menemukan berbagai stereorip negatif dan justifikasi subjektif yang kurang berdasar dari sebagian masyarakat Banyuwangi.


Memang, pelatihan khusus pemandu karaoke di Banyuwangi baru pertama kali diselenggarakan. Namun, bukan berarti di daerah lain tidak pernah digelar pelatihan serupa. Melansir Bnsp.net, terdapat 38 daerah yang pernah menyelenggarakan pelatihan bagi pemandu karaoke.


Tanggapan Bu Ipuk dan Pak Michael yang cenderung menyayangkan adanya pelatihan bagi Mbak-mbak LC, terkesan pradoks. Setidaknya, hal itu dapat dilihat dari aturan yang mereka buat. Pertama, tempat hiburan karaoke keluarga yang ada di Banyuwangi yang saat ini berdiri tentu memiliki izin dari pemerintah.


Keberadaan mereka mestinya sudah sesuai dengan Perda Banyuwangi No. 10 Tahun 2014. Kedua, karena tempat hiburan karaoke itu memiliki izin atau legalitas, tentu mereka dikenai pajak sebagaimana termaktub dalam Perbup Banyuwangi No. 62 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Perbup Banyuwangi No. 81 Tahun 2016.


Kedua hal di atas, menunjukkan bahwa keberadaan tempat hiburan karaoke keluarga dan para LC itu memiliki izin. Dan, yang memberi izin tidak lain adalah pemerintah (sesuai Perda dan Perbup Banyuwangi). 


Menjadi paradoks, jika pelatihan pemandu karaoke itu disayangkan dan dikritik oleh para elite politik di Banyuwangi, sedangkan tempat hiburan itu bisa ada sampai sekarang karena perizinan yang mereka berikan. Bahkan, Pemkab Banyuwangi menerima pajak dari tempat hiburan karaoke tersebut. Tidak mungkin, jika Bu Ipuk dan Pak Michael pura-pura tidak tahu mengenai hal ini. 


Selain itu, pelatihan ini memang perlu diperhatikan. Sebab, selain sebagai peningkatan kompetensi dan profesionalisme pemandu karaoke, juga untuk menjamin keamanan dan keselamatan. Tentu kita tidak ingin peristiwa yang terjadi di Ashika tahun lalu, yaitu perempuan pemandu karaoke menjadi korban penganiayaan, terulang kembali.


Pemerintah harus mempertimbangkan hal ini, karena bagaimanapun, para LC itu perlu mendapatkan jaminan keselamatan dan keamaan dalam bekerja. Harapannya, setelah dilatih dan diberi sertifikat, pemandu karaoke di Banyuwangi akan lebih profesional dan tidak menerima perlakuan yang merugikan. 


Lebih jauh, saling menyalahkan satu sama lain dalam persoalan ini, adalah sikap yang memprihatinkan dan cenderung impusif. Karena, inti persoalannya bukan terletak pada pelatihan dan etis atau non-etis, melainkan pada kemunculan Lady Companion itu sendiri. Mengapa demikian?


Sudah disinggung di muka tadi, bahwa mereka yang bekerja sebagai pemandu karaoke bukanlah “profesi tetap”. Menjadi pemandu karaoke hanyalah pekerjaan sementara sampai mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dan, kebanyakan dari mereka sebelumnya sudah mencari pekerjaan di beberapa tempat, namun nasib berkata lain. Maksud dari “nasib” di sini ialah, sistem sosial yang timpang. 


Sistem sosial itu adalah akibat dari ketidakberesan pemangku kebijakan, dan para elite politik di Banyuwangi yang hanya sibuk bertikai (saling lempar kesalahan sana-sini, misalnya), tanpa berusaha memahami pokok persoalan. Setidaknya mereka tafakkur: mengapa masih banyak pemandu karaoke di Banyuwangi? Mengapa masyarakat masih sulit mendapatkan pekerjaan?


Dengan sibuk bertikai, terutama dalam polemik pelatihan pemandu karaoke belakangan ini, tidak akan menyelesaikan persoalan krusial yang terjadi di tengah masyarakat akibat sistem sosial yang timpang dan “kurang sehat”. Seyogianya kita saling bekerja sama untuk membina dan mengembangkan potensi masyarakat serta bekerja sama untuk menuntaskan problematika yang terjadi di segala sektor yang ada di ujung timur Jawa ini. (*)

*Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi