OPINI: Rasionalitas Adab, Mengapa Santri Menghormati Kiai Oleh: Zulfarrohman*

6innio.jpg Ilustrasi AI (Foto: BWI24Jam)

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Tunduk kepada kiai bukan berarti memuja manusia, tetapi menghormati ilmu dan akhlak yang dimilikinya. Manusia secara alami menghargai sosok yang berpengetahuan dan bermoral tinggi, sebagaimana kita menghormati orang tua, guru, hakim, atau pemimpin tanpa paksaan, melainkan karena kesadaran akan nilai luhur yg mereka emban.


Kiai dihormati karena ilmunya mencerahkan, akhlaknya menenangkan, dan perannya mendidik umat fi kulli zaman. Sikap hormat ini menjadi bagian dari pendidikan moral yang menumbuhkan adab dan rasa hormat terhadap kebenaran. Menghormati kiai sejatinya adalah menghormati ilmu dan kebaikan yang ia bawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa kiai juga manusia, dengan segala keterbatasan dan kemungkinan kekeliruan.


Namun dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan kepada kiai tidak didasarkan pada kesempurnaan pribadi, melainkan pada fungsi dan perannya sebagai penjaga ilmu serta penerus tradisi keagamaan. Secara sosiologis, masyarakat membutuhkan figur moral dan intelektual sebagai rujukan dalam memahami nilai-nilai kehidupan.


Ketika seorang kiai dihormati, yang sebenarnya dihormati adalah posisi keilmuannya dan tanggung jawabnya dalam membimbing umat, bukan seluruh aspek pribadinya. Karena itu, jika ada kiai yang melakukan kesalahan, yang dikoreksi adalah perbuatannya, bukan dihapus rasa hormat terhadap ilmunya.


Dalam pandangan etika Islam, menghormati guru yang memiliki kekurangan bukan berarti membenarkan kekeliruannya, tetapi tetap menjaga adab terhadap ilmu yang ia bawa. Kritik tetap mungkin, tetapi dilakukan dengan cara yang beradab. Sebab tanpa adab, ilmu kehilangan ruhnya. Mengkritik tradisi hormat kepada kiai di pesantren sebenarnya mirip dengan mengkritik tradisi kebudayaan di suatu daerah tanpa memahami akar maknanya.


Dalam setiap kebudayaan, ada tata krama dan simbol penghormatan yang diwariskan turun-temurun sebagai bentuk penghargaan terhadap nilai luhur. Seperti masyarakat Jawa yang menundukkan kepala saat lewat di depan orang tua, itu bukan bentuk penyembahan, melainkan pengakuan terhadap tatanan sosial dan nilai kebijaksanaan yang dijaga bersama.


Begitu pula di pesantren: sikap hormat kepada kiai adalah ekspresi dari penghormatan terhadap ilmu, adab, dan tradisi keilmuan Islam yang telah membentuk peradaban umat. Mereka yang menolak tradisi itu sering kali melihat dari permukaan, menganggapnya sebagai kultus individu. 


Padahal, di baliknya ada sistem nilai yang mendidik santri untuk belajar adab sebelum ilmu, disiplin sebelum kebebasan, dan hormat sebelum berpendapat. Tradisi itu tidak mematikan nalar, justru menata hati agar ilmu tidak kehilangan arah. Kritik bahwa santri menghormati kiai secara berlebihan sering muncul dari cara pandang luar yang tidak memahami konteks pesantren.


Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan santri kepada kiai bukanlah bentuk pemujaan personal, melainkan ekspresi adab, tata krama yang menata hubungan antara pencari ilmu dengan pembawanya. Pesantren dibangun di atas prinsip ta’dzim (penghormatan) dan tawadhu’ (kerendahan hati).


Keduanya bukan untuk menundukkan akal, tetapi untuk melatih keikhlasan dan kesabaran dalam menuntut ilmu. Adab ini menanamkan kesadaran bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan, tetapi juga cahaya yang perlu diterima dengan hati yang bersih dan sikap rendah hati.


Memang, dalam praktiknya, bisa saja ada santri yang bersikap berlebihan dalam hormat pada kyai. Namun yang berlebihan itu perilakunya, bukan nilai dasarnya. Pesantren tidak mengajarkan pengultusan, melainkan penghormatan yang berlandaskan akhlak.


Sama seperti kita berdiri saat hakim masuk ruang sidang, mencium tangan orang tua, atau menunduk kepada tokoh adat, semuanya adalah simbol nilai, bukan pemyembahan kepada manusia. Dengan demikian, ta’dzim santri kepada kiai adalah bagian dari sistem pendidikan karakter yang membentuk adab sebelum ilmu. Ia tidak menghapus nalar, tetapi menyiapkan jiwa agar ilmu yang diterima membawa manfaat dan keberkahan. Wallahu a'lam bishawab. Hanya Allah yang mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. (*)

*Zulfarrohman, Pengajar.