OPINI: CSR Disandera, Kolusi Bisnis dan Kekuasaan yang Dinilai Merugikan Masyarakat Oleh: Ridho Alayka Nashrulloh*

opini.jpg Ilustrasi

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Dalam lanskap bisnis modern, Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi lebih dari sekadar jargon. Ini adalah komitmen nyata perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.


Namun, di beberapa daerah, semangat mulia CSR ini seringkali disalahgunakan. Praktik penyanderaan CSR oleh pemerintah daerah untuk kepentingan program pemerintahan menjadi semakin marak.


Apa yang seharusnya menjadi inisiatif sukarela perusahaan untuk memberikan dampak positif pada masyarakat, kini berubah menjadi kewajiban yang dipaksakan.


Pemerintah daerah, dengan dalih melibatkan sektor swasta dalam pembangunan, seringkali mendikte perusahaan untuk mendanai proyek-proyek yang sejatinya merupakan tanggung jawab pemerintah sendiri. 


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah disepakati bersama DPRD seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan Program pemerintah untuk masyarakat.


Padahal, perusahaan memiliki otonomi untuk menentukan program CSR yang paling relevan dengan kebutuhan komunitas sekitar. Perusahaan lebih memahami dinamika sosial dan lingkungan di mana mereka beroperasi, sehingga program CSR yang mereka jalankan cenderung lebih efektif dan berkelanjutan.


Ketika pemerintah ikut campur, seringkali terjadi distorsi tujuan CSR. Alih-alih berfokus pada pemberdayaan masyarakat, program CSR malah menjadi alat untuk mencitrakan keberhasilan pemerintah.


Penyanderaan CSR ini tidak hanya merugikan perusahaan, tetapi juga merugikan masyarakat. Perusahaan menjadi enggan untuk berinvestasi dalam program CSR yang inovatif dan berdampak tinggi karena terbebani oleh tuntutan pemerintah. Masyarakat pun kehilangan kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari program CSR yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.


Pertanyaannya adalah, sampai kapan praktik penyanderaan CSR ini akan terus berlanjut? Pemerintah daerah harus menyadari bahwa CSR adalah hak prerogatif perusahaan, bukan kewajiban yang dapat dipaksakan. Perusahaan juga harus berani menolak tekanan pemerintah dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya. (*)

*Ridho Alayka Nashrulloh, Asisten Dosen UNTAG Banyuwangi