
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Ujung Timur Jawa, Banyuwangi, telah selesai diselenggarakan pada 27 November 2024 lalu. Gegap gempita dan pernyataan-pernyataan hipnotis dari para calon, sekarang tak terdengar lagi.
Baliho dan bendera partai di sepanjang pinggiran jalan yang warna-warni itu, telah dilipat dan disimpan baik di dalam peti, barangkali. Ingar-bingar politik telah meringsut, dan kita sebagai masyarakat, kembali pada aktivitas masing-masing; menjadi petani, guru, tukang cukur, mahasiwa, penjual sayuran, dan lain sebagainya.
Seolah-olah, Pilkada hanyalah klangenan politis kita sebagai warga negara. Selebihnya, kita serahkan saja pada pemimpin dengan berbagai kebijakan-kebijakannya nanti.
Kendati Pilkada Banyuwangi telah usai digelar, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan Bupati-Wakil Bupati terpilih, nampaknya masih ada beberapa hal yang dirasa belum selesai oleh sebagian pihak.
Salah satu hal yang dianggap “belum” sepenuhnya selesai adalah ini: Pilkada Banyuwangi 2024 masih perlu dievaluasi kembali. Anggapan tersebut menyeruak ke permukaan setelah Ketua Umum Cabang PMII Banyuwangi, M. Haddad Nasyafiallah, beserta jajaran kepengurusan mengadakan konferensi pers di Warung Kopi Mansoer, Banyuwangi, pada Jumat (06/12/2024).
Dalam konferensi pers tersebut, Nasa, memberi dua “catatan merah” kepada KPU Banyuwangi. Pertama, jumlah partisipasi masyarakat Banyuwangi pada Pilkada 2024 menurun (hanya mencapai angka 59,3 persen dari total DPT 1.348.925 jiwa). Kedua, tidak ada transparansi anggaran oleh penyelenggara Pilkada 2024.
Dari catatan PC PMII Banyuwangi tersebut, selang beberapa saat muncul tanggapan dari dua Pimpinan Cabang Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa): Rizka Nanda Aprilita dari DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Dwi Ainul Haqiqi dari PC Ikatan Pelajaran Nahdlatul Ulama (IPNU).
Menurut Nanda Aprilita, KPU Banyuwangi telah menyelenggarakan pesta demokrasi secara maksimal dan sukses, bahkan telah menciptakan Pilkada yang aman, damai, dan kondusif. Sedangkan, menurut Ainul Haqiqi, Pilkada yang diselenggarakan bulan lalu berjalan dengan damai, demokratis, dan tetap mengedepankan kearifan lokal. Demikian adalah bukti konkret, lanjut Ainul Haqiqi, kedewasaan politik masyarakat Banyuwangi.
Sikap pro dan kontra seperti yang kita lihat di kalangan para kader Ormawa tersebut, merupakan hal yang sangat lumrah dan sah-sah saja. Apalagi, sejak Orde Baru tumbang, kita telah menghirup udara demokrasi hingga saat ini. Sudah barang tentu, demikian adalah konsekuensi dari kehidupan yang demokratis.
Akan tetapi, perlu kejelian untuk membaca fenomena “silang pendapat” yang dilakukan oleh para pimpinan Ormawa itu. Menurut saya, topik yang sedang hangat dibicarakan oleh Saudara Nasa, Saudari Nanda (atau yang akrab disapa Nona), dan Saudara Ainul tersebut, untuk saat ini, tidak terlalu urgen.
Oleh karena itu, dalam tulisan pendek ini saya akan memberi catatan untuk mereka bertiga sebagai seorang pemimpin dan saudara saya. Bukankah sesama saudara harus saling mengingatkan?
Ormawa Borjuis: Ditekan Merintih, Berkuasa Menindas
Sebelum memberikan komentar terhadap apa yang disampaikan dan dilakukan Saudara Nasa, Saudari Nona, dan Saudara Ainul tersebut, agaknya kita perlu sedikit melihat “cara pandang” mereka yang akhirnya mempengaruhi gerakan politis yang sedang mereka lakukan belakangan ini. Sebab, bagaimanapun, cara berpikir seseorang atau kelompok tertentu, akan dipengaruhi oleh lingkungan yang mengitari mereka.
Seorang sosiolog kelahiran Hungaria, Karl Mannheim, dalam Ideology and Utopia (1936) mengembangkan teori tentang sosiologi pengetahuan (The Sociology of Knowledge). Secara sederhana sosiologi pengetahuan merupakan teori yang berusaha menyingkap relasi pengetahuan manusia dengan eksistensinya.
Menurut teori ini, pengetahuan maupun pandangan manusia terhadap sesuatu tidak dapat terlepas dari konteks sosial-politik-kebudayaan di mana mereka hidup. Jadi, dapat dipahami bahwa, pengetahuan dan cara pandang manusia itu diproduksi oleh lingkungan, dengan siapa mereka bergaul, dan hal-hal yang berada di sekeliling mereka.
Jika menilik lebih dekat para pimpinan Ormawa (PC PMII Banyuwangi, DPC GMNI Banyuwangi, dan PC IPNU Banyuwangi) yang sedang “berdebat” tentang topik yang bersifat aksidental itu, agaknya mereka lebih dekat dengan “kekuasaan”.
Artinya, mereka sering bersinggungan dengan politik praktis; mengekor kepada para alumni yang berada di tampuk kekuasaan tertentu dan sering hilir-mudik ke Kantor DPRD maupun Pendopo Banyuwangi.
Selain itu, opini mereka tentang penyelenggaraan Pilkada 2024 tersebut, jika kita cermati secara seksama, cenderung politis. Bagaimana tidak, lha wong para alumni mereka (PMII, GMNI, dan IPNU) berada di setiap pos-pos kekuasaan. Maka tak heran, jika tanggapan mereka tentang Pilkada itu secara implisit mengandung kepentingan-kepentingan politis praktis golongan tertentu.
Selain itu, fokus bidik mereka mengenai persoalan yang terjadi di Banyuwangi, agaknya perlu digeser—jika tidak mengatakan “salah sasaran”. Seyogianya, objek garapan mereka itu bukan tentang penyelenggaraan Pilkada, melainkan segala problem yang ada di tengah masyarakat Banyuwangi.
Lha kok sampean-sampean justru sibuk berdebat soal Pilkada yang tidak terlalu memberikan dampak positif bagi masyarakat. Hal ini, lagi-lagi, disebabkan oleh singgungan mereka dengan kekuasaan, partai politik, dan sebagai “corong” kepentingan politis para alumni. Kalau tidak percaya, silakan lihat orang-orang yang menduduki posisi strategis di Banyuwangi sekarang ini.
Maka, dari itu, saya menganggap mereka (Saudara Nasa, Saudari Nona, dan Saudara Ainul) ialah representasi dari Organisasi Kemahasiswaan atau Kepemudaan yang borjuistik (kata Borjuis saya maknai: orang-orang yang tidak memperdulikan kepentingan rakyat dan lebih dekat dengan kekuasaan).
Sebab, orientasi mereka bukan pada problem yang tengah dihadapi masyarakat. Seperti kata Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (2005): “merintih kalau ditekan, menindas kalau berkuasa!”.
Memahami Kembali Tanggung Jawab Organisasi Mahasiswa
Meski latar belakang organisasi mereka berbeda, namun secara esensial tanggung jawab sosial sebagai intelektual muda relatif sama. Berkenaan dengan tanggung jawab intelektual, Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals (1967) menyatakan bahwa tanggung jawab ialah mengatakan kebenaran dan mengungkap kebohongan (To speak the truth and expose the lie).
Secara politis, posisi kaum intelektual itu untuk mengungkap kebohongan yang dilakukan pemerintah, menganalisis kebijakan, tindakan, dan motif terselubung di balik kekuasaan (pemerintah).
Sehingga, jika mengikuti pendapat Chomsky ini, Ormawa di Banyuwangi harus senantiasa kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, berpihak kepada masyarakat Banyuwangi, dan menciptakan gerakan sosial yang mampu memberi kontribusi riil terhadap kehidupan masyarakat Banyuwangi.
Padahal, kalau kita mau jujur, masih banyak persoalan yang tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan dan program yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi.
Sebut saja misalnya, konflik di Desa Pakel, dampak lingkungan di Gunung Tumpang Pitu, pengawalan praktik pertambangan di Gunung Salakan, problem kemiskinan dan pengangguran, kenakalan remaja, kekerasan seksual, dan seterusnya.
Selama ini, kita sebagai masyarakat menanti wacana dan gerakan konkret sampean-sampean ini. Kalau hanya sibuk bertengkar tentang Pilkada, lantas untuk apa eksistensi organisasi mahasiswa atau kepemudaan tetap dipertahankan?
Akhirul kalam, sudah saatnya organisasi mahasiswa atau kepemudaan menciptakan gelombang gerakan yang menyentuh kepada problem masyarakat, mengontrol kebijakan pemerintah, memberikan tawaran-tawaran logis-solutif bagi kemiskinan dan pengangguran yang kian hari kian bertambah.
Berbagai persoalan ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya hilir-mudik membawa proposal di Kantor DPRD, Pendopo, maupun di instansi pemerintahan. Sebagaimana khittah (garis-garis perjuangan) organisasi mahasiswa: berada di pihak rakyat dan membaur bersama mereka. Sehingga baju kegagahan “borjuis” tak lagi melekat di tubuh organisasi mahasiswa. (*)
*Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi