Berkah Tradisi Endhog-endhogan, Perajin Banyuwangi Kantongi Omzet Jutaan Rupiah

20250909_143753.jpg Perajin Kembang Endhog untuk Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Banyuwangi (Foto: Istimewa/BWI24Jam)

BWI24JAM.CO.ID, BanyuwangiRatusan warga Desa Sraten, Kecamatan Cluring, tumpah ruah di jalan desa pada Sabtu pagi (6/9/2025) untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan berlangsung sangat meriah dengan tradisi Endhog-Endhogan, di mana tak kurang dari 12.000 butir telur hias ditancapkan ke ratusan batang pisang yang dijajar di sepanjang jalan. Di balik kemeriahan tersebut, tersimpan kisah perputaran ekonomi yang luar biasa dari para perajin tempat telur atau yang biasa disebut kembang endhog.


Tradisi Endhog-Endhogan yang merupakan simbol kelahiran dan keberkahan telah menjadi magnet ekonomi tahunan bagi masyarakat setempat. Momen ini pun menjadi penantian para perajin. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pesanan membanjir dari berbagai penjuru, bahkan hingga dari luar Pulau Jawa. Masing-masing perajin dapat menerima sebanyak tujuh ribu hingga dua belas ribu unit pesanan. Fenomena ini membuktikan bahwa tradisi lokal tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga menggerakkan roda perekonomian mikro di pedesaan.


Untuk memenuhi permintaan yang membludak, mereka bahkan sudah mulai membuat komponen sejak tiga bulan sebelumnya, bahkan ada yang sejak bulan puasa. Pesanan ini datang dari berbagai pihak, termasuk Ikawangi (Ikatan Keluarga Banyuwangi) di perantauan yang ingin merayakan tradisi ini di perantauan, serta kelompok-kelompok pengajian di desa-desa sekitar yang juga menggelar perayaan serupa. Namun, mereka menghadapi tantangan klasik, yaitu keterbatasan tenaga kerja sehinga permintaan yang sangat tinggi belum bisa diakomodasi sepenuhnya.


Alfalah, salah seorang perajin kembang endhog mengaku menerima pesanan hingga dua puluh ribu unit. “Dari tahun ke tahun pesanan selalu meningkat, tahun ini kami menerima hingga 2dua puluh ribu unit kembang endhog, itupun kami sudah menolak beberapa pesanan karena keterbatasan tenaga,” ungkapnya. Hal serupa dirasakan oleh Marfiatun Nafiah,


“Tadi pagi kami mengirimkan seribu unit kembang endhog ke Bali. Saya sudah menutup pesanan karena tenaganya kurang,” beber perempuan yang kerap disapa Pipik itu. 


Harga per biji kembang endhog senilai Rp 1.400. Dengan rata-rata produksi 10.000 unit selama momen Maulid, seorang perajin bisa mengantongi omzet kotor hingga Rp 14 juta. Keuntungan yang menggiurkan ini menjadi motivasi besar bagi para perajin untuk terus berkarya. Mereka pun memilih bahan khusus yang lebih tahan lama sehinga aman saat pengiriman dan dapat digunakan berkali-kali. 


Tradisi Endhog-Endhogan di Banyuwangi bukan sekadar perayaan keagamaan, melainkan sebuah ekosistem ekonomi yang berdenyut kencang. Dari pedagang telur, penjual kertas dan bahan hiasan, hingga perajin kembang endhog, semuanya merasakan dampak positif. Momen Maulid Nabi telah menjelma menjadi sebuah festival kerajinan rakyat yang menjanjikan, di mana seni dan spiritualitas bertemu dengan peluang bisnis. (*)