
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Kereta Api (KA) Ijen Ekspres merilis relasi baru Banyuwangi – Malang untuk kelas eksekutif dan ekonomi new generation pada sabtu lalu. Langkah itu menunjukkan bahwa penggunaan jasa KA menjadi tren baru dan semakin digandrungi.
Ya, jika dulu, calon penumpang harus datang ke stasiun untuk membeli tiket dan kerap kali terjadi antrian panjang. Bahkan, penumpang yang tidak punya bekal tiket pun bisa menjadi penumpang gelap.
Saya punya pengalaman naik KA jurusan Banyuwangi - Yogjakarta tanpa tiket medio tahun 2003 silam. Cukup bermodal kartu identitas seperti KTP/Kartu Pelajar, bepergian dengan jasa KA bisa dilalui tanpa hambatan berarti.
Stasiun Kalibaru sebagai titik pemberangkatan menuju stasiun tujuan akhir Lempuyangan. Jadwal KA kelas eksekutif pada saat itu pukul 23.00 WIB dengan tujuan Surabaya.
Agar bisa masuk gerbong, yaitu dengan cata melompat pagar di stasiun tersebut. Beruntung, tidak ada petugas yang melihat. Singkatnya, saat KA tiba, kami bisa masuk gerbong dan dengan leluasa mencari tempat duduk dan memilih gerbong barisan belakang dan KA pun berangkat.
Petugas portir mulai melakukan pemeriksaan kepada seluruh penumpang ketika KA sedang dalam perjalananan. Sialnya, saya dan kedua sahabat saya terjaring razia sebagai penumpang ilegal. Sempat adu argumen, petugas itu hendak menurunkan kami di Stasiun Kalisat. Namun, hasil negosiasi yang cukup alot, akhirnya kami dipaksa dan diturunkan di stasiun Jember.
Kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Selepas turun di stasiun Jember, kami pun mencari Mapolres dini hari itu dengan tetap berjalan kaki. Kebetulan, alamat Mapolres itu lokasinya tidak jauh dan dekat dengan Alun Alun Jember. Hasilnya, sukses mendapatkan surat jalan dari Mapolres setempat dengan jasa transportasi KA tujuan Yogjakarta.
Selepas mendapatkan surat yang dianggap sakti itu, kami pun bisa bernapas lega dan bisa menikmati kopi dengan suka cita. Namun, kebahagiaan itu hanya beberapa jam saja. Modal surat pengantar memang awalnya dirasa cukup untuk bisa menumpang KA. Tapi, ternyata itu tidak bisa. Pasalnya, sejumlah petugas tetap tidak mengizinkan kami masuk ke ruang tunggu stasiun. Bahkan, seorang petugas diketahui sudah melihat kami sejak tadi malam. "Kalian yang tadi malam diturunkan, tidak bisa masuk kecuali beli tiket" seru petugas itu di tengah banyaknya calon penumpang yang tengah ramai pagi itu.
Surat jalan sempat kami tunjukkan kepada petugas tersebut. Tapi, secarik kertas itu dianggap tidak berlaku. Sontak saja, kami tersulut emosi dengan merobek surat jalan itu dan membuang ke bak sampah. Perdebatan kami pun menjadi pusat perhatian calon penumpang lain. Selanjutnya, kami pun digiring keluar stasiun.
Melihat jadwal KA yang waktunya masih cukup, kami pun
mencari alternatif lain, yaitu naik angkot menuju Terminal Tawang Alun dan kemudian
naik bus menuju Stasiun Rambipuji dengan ongkos yang masih terjangkau. Setiba di stasiun, seperti aksi sebelumnya, melompat
pagar.
KA dari arah timur sudah datang. Kami pun masuk ke dalam gerbong KA dengan harap-harap cemas. Ketika dalam perjalanan, petugas portir kembali merazia kami bertiga. "Lho ini yang tadi pagi, mana tiketnya. Kalau tidak punya tiket, turun". ujar petugas portir. Kami pun dipaksa diturunkan di stasiun Tanggul. Apes, stasiun selanjutnya tampaknya tidak memiliki durasi waktu yang cukup untuk mengejar ketertinggalan KA yang sama.
Kami masih memiliki asa untuk bisa sampai ke stasiun berikutnya, yaitu Klakah, Lumajang, dengan cara mencari SPBU terdekat. Harapannya, jika ada truk bisa menumpang dan naik ke bak truk. Kami pun mendapatkan "tumpangan" truk dan mobil atas bantuan polisi dan tiba di Stasiun Klakah.
Setelah menunggu beberapa waktu, ada KA dari timur tiba
di stasiun. Sebagai bahan evaluasi, ketika duduk di barisan gerbong paling
belakang, petugas portir selalu menjaring kami. Oleh karena itu, gerbong paling
depan yang dan berbaur dengan sejumlah pengamen. Kali ini berhasil sampai finis
di stasiun Lempunyangan tepatnya Kamis malam meski selalu kucing-kucingan
dengan petugas portir selama dalam perjalanan.
Kembali ke Banyuwangi pada Minggu siang dengan cara yang sama yaitu naik KA masih tanpa tiket.. Hanya saja, cuma saat itu tidak pakai surat pengantar dari pihak berwenang. Dewi fortuna berpihak, kami bisa sampai di Stasiun Gubeng, Surabaya tujuan akhir KA tersebut dengan lika liku serupa yaitu kucing-kucingan dengan petugas portir.
Di stasiun itu, kami istirahat sambil menunggu jadwal pemberangkatan KA berikutnya. Di pagi itu, kami bisa naik KA kelas premium tujuan Banyuwangi. Sialnya, ketahuan tanpa tiket, kami kembali tertangkap basah dan diturunkan di Stasiun Wonokromo. Tidak ada pilihan lain, kami mencari Mapolsek terdekat untuk mendapatkan surat pengantar.
Karena tidak ingin mengalami nasib serupa, menggunakan jasa bus umum adalah solusinya. Terminal Bungurasih adalah titik awal pemberangkatan. Untuk itu, kami sebelumnya naik bus dalam kota dan ternyata gratis dengan bekal surat jalan.
Setiba di terminal, surat itu diberikan kepada petugas yang sedang piket di pos Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DDLAJ) tersebut. Meski sempat tiga kali gonta ganti bus dalam perjalanan, kami tetap sampai di Banyuwangi dengan suka cita.
Kini, tampaknya sangat sulit mendapatkan jasa
transportasi KA maupun Bus tanpa membeli tiket. Sebab, baik KA maupun bus sudah
berbenah agar tidak kecolongan penumpang ilegal seperti yang pernah saya alami
22 tahun silam. (*)
*Ali Nurfatoni, Sekretaris Forum Diskusi Dapil Se-Banyuwangi