OPINI: Menilik Keteladanan Martir Blambangan, Wong Agung Wilis Oleh: Dendy Wahyu Anugrah*

ilustrasi_wajah_wong_agung_wilis_banyuwangi2024.jpg Ilustrasi Sketsa Wajah Wong Agung Wilis (Foto: Istimewa)

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Kemerdekaan bukanlah sepotong roti yang selalu siap setiap pagi. Ia, harus diraih. Pun dalam meraih suatu kemerdekaan, manusia harus bersimbah darah dan jatuh-bangun berkali-kali.


Laiknya kata-kata mashyur: tidak ada makan siang yang gratis. Manusia, untuk meraih kemerdekaan diri harus bersedia susah payah untuk mendalami diri, memahami, dan senantiasa berjalan setapak demi setapak menuju kemanusiaan yang paripurna.


Setali tiga uang dengan kemerdekaan diri, dalam suatu bangsa juga harus senantiasa berjuang dan mempertahankan peradaban bangsa yang mengalami penjajahan identitas, bahasa, dan kebudayaan oleh bangsa lain.


Sehingga, manusia yang merasa memiliki tanggung jawab atas tanah airnya, terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan di segala bidang kehidupan bangsa.


Semakin ia merasa ditekan, semakin kuat perlawanan yang dilakukan oleh para martir yang berusaha dengan jiwa-raga untuk mempertahankan muru’ah (kehormatan) bumi di mana mereka dilahirkan.


Tidak sedikit kisah heroik peninggalan para martir bangsa kita dalam rangka menjaga kehormatan tanah air tanpa pamrih suatu apapun. Mereka, dengan segenap kemampuan diri, berdiri tegap di depan kaum kolonialis-imperialis yang membawa segudang mudarat bagi bangsa kita.


Karena dalam sisi manapun para penjajah yang menjarah tanah air tidak dapat dibenarkan dan dibiarkan begitu saja menindas bangsa kita, maka sudah pasti percik-percik perlawanan timbul di daerah-daerah Nusantara.


Salah satu daerah yang memiliki martir dan legacy (warisan) perlawanan terhadap penjajah ialah Blambangan. Kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di bumi Nusantara pada abad ke-16, tepatnya tahun 1602, membuat sebagian besar wilayah Nusantara, tak terkecuali Blambangan, berada di bawah kekuasaannya.


Segala praktik penindasan, pemerasan, dan perbudakan rakyat dilakukan oleh VOC. Oleh karena tindakan destruktif VOC tersebut, akhirnya spirit perlawanan datang dari rakyat Blambangan.


Secara historis, bentuk resistensi rakyat Blambangan tersebut pernah dilakukan dan diprakarsai oleh Wong Agung Wilis atau Pangeran Agung Wilis. Dalam Babad Blambangan (BR. 384), Agung Wilis memiliki nama asli Mas Sirna.


Perlawanan rakyat Blambangan yang dipelopori oleh anak dari pasangan Prabu Danurejo dan putri dari Bali tersebut terjadi pada tahun 1767-1768. Mafhum, resistensi rakyat Blambangan itu dikenal sebagai Perang Wilis.


Gerakan sosial-politik yang terjadi kala itu memang memiliki beberapa alasan. Sebab utama munculnya perlawanan yang ada di ujung timur Jawa itu adalah tindakan VOC yang semakin mengalienasi rakyat Blambangan.


Dalam hal ini, Nurmania (2017) menyebutkan beberapa alasan mengenai perlawanan Agung Wilis terhadap Kompeni, antara lain: pertama, adanya laporan seorang telik sandi utusan VOC yang menyatakan bahwa pada bulan Agustus 1766 terdapat tiga kapal besar Inggris yang membawa para pelaut Bugis dan Madura tiba di Blambangan. Rombongan tersebut di bawah komando Erward Coles, salah seorang anggota English East India Company (EIC).


Tujuan kedatangan EIC tak lain adalah perdagangan. Mereka bermaksud memasarkan senjata, opium, kapas, dan kain dengan harga yang relatif murah. Beberapa saat berselang, Blambangan menjadi wilayah yang ramai dikunjungi para pedagang dari Cina, Bugis, Mandar, Melayu dan lain sebagainya.


Alhasil, Blambangan menjadi tidak kondusif. Selain itu, berdasarkan surat dinas Kapten Blanke yang dikirim ke Gubernur Johanes Vos di Batavia pada Maret 1767, bendera Belanda berhasil dikibarkan untuk pertama kali di bumi Blambangan.


Kedua, terdapat faktor politik. Kompeni menunjuk Mas Anom dan Mas Uno untuk menjadi pemimpin Blambangan yang baru. Karena hal tersebut, situasi politik kala itu mulai bergejolak. Selanjutnya, ketiga, faktor agama. Praktik “pemaksaan” memeluk agama tertentu (Islam dan Kristen) juga terjadi.


Salah satu contoh, pernikahan Raja Blambangan dengan anggota elite Islam yang didukung oleh Belanda. Maka tak ayal, penduduk lokal menentang hal tersebut, sebab mayoritas rakyat Blambangan merupakan pemeluk agama Hindu.


Keempat, faktor ekonomi. Pada 1699, VOC mulai memperkenalkan komoditas perkebunan kepada Blambangan. Berbagai macam bibit diperkenalkan, mulai kopi, teh, tebu, dan lain-lain. Akhirnya, perkebunan mulai digarap oleh VOC dengan memperkerjakan penduduk lokal. Dari kemunculan perkebunan inilah, penderitaan rakyat Blambangan bermula.


Praktik yang dilakukan oleh VOC kepada rakyat Blambangan dapat disebutkan, antara lain membuat jalan dan membabat pohon di hutan untuk dijadikan perkebunan. Pekerjaan tersebut dilakukan penduduk Blambangan tanpa jatah makan. Bukan hanya tenaga fisik yang diperas, melainkan juga merampas hasil panen dan bahan pokok yang dimiliki oleh penduduk.


Kekuasaan Kompeni di tanah Blambangan berjalan kurang-lebih selama enam bulan. Setelah itu muncul perlawanan rakyat Blambangan karena kebijakan yang diberlakukan oleh Kompeni sangat menekan. Pemberlakuan sistem pajak dan kerja wajib kepada Kompeni, misalnya.


Keadaan demikian digambarkan dalam Babad Wilis (1980): “Lima puluh orang setiap hari diwajibkan bekerja untuk Kompeni dan menyerahkan (kepada Kompeni) lembu dan sapi”.


Dari beberapa faktor itulah, perlawanan rakyat Blambangan yang dipelopori oleh Wong Agung Wilis memuncak. Pada 1768 terjadi gerakan perlawanan melawan Kompeni yang dipimpin oleh Wong Agung Wilis. Menurut Babad Wilis (1980), Agung Wilis melakukan berbagai cara sebelum akhirnya memimpin gerakan massa.


Langkah perdana yang dilakukan oleh Agung Wilis ialah melakukan agitasi dan propaganda kepada penduduk untuk tidak melaksanakan kerja wajib. Kemudian, Agung Wilis juga melakukan perjalanan ke beberapa daerah untuk membagi uang dan senjata dari Inggris.


Perlawanan Agung Wilis terhadap Kompeni dimulai pada 18 Februari 1768. Serangan ini berfokus untuk merebut benteng Kompeni di Ulupampang. Pada pertempuran ini, pihak Agung Wilis berhasil menumbangkan Kompeni. Mereka berhasil mengambil alih benteng Kompeni dan bahkan memenggal beberapa mata-mata Kompeni di Ulupampang.


Selanjutnya pada 14 Mei 1768 Kompeni melancarkan serangan ke Ulupampang. Pertempuran semakin sengit, dan akhirnya Ulupampang dapat dilumpuhkan. Para pasukan Agung Wilis dijadikan tawanan. Encik Kamis, pimpinan pasukan Agung Wilis, berhasil melarikan diri dalam keadaan terluka parah.


Selang beberapa hari, 18 Mei 1768, Kompeni menyerang ke Kotalateng. Namun, belum sampai penyerangan dilakukan, pihak Kompeni kewalahan oleh serangan pasukan Agung Wilis. Sehingga Kompeni tidak dapat menembus pasukan Agung Wilis yang berjumlah enam ribu orang tersebut.


Tiba-tiba terdapat pengkhianatan dari pasukan Agung Wilis dan menyerang pasukannya. Akhirnya, Kotalateng berhasil ditaklukkan oleh Kompeni. Wong Agung Wilis ditahan oleh Kompeni dan beberapa saat meninggal pada tahun 1780 di pulau Dewata, Bali.


Perlawanan Wong Agung Wilis dan rakyat Blambangan tersebut meninggalkan segudang warisan yang sangat berharga, khususnya bagi masyarakat Blambangan (Banyuwangi).


Spirit perjuangan tiada henti yang dilakukan oleh Wong Agung Wilis dan para pasukan yang gugur di medan pertempuran merupakan warisan yang sangat berharga. Sudah seharusnya, kita mewarisi kegigihan, keberanian, dan spirit perjuangan Wong Agung Wilis sebagai bentuk penghargaan atas perjuangannya selama ini.


Barangkali kita tidak lagi melawan Kompeni seperti Wong Agung Wilis. Juga tidak melakukan perlawanan dengan cara perang fisik. Namun, kita dapat mewarisi dan mengaktualisasikan spirit Agung Wilis di era kontemporer seperti menumpas segala bentuk ketidakadilan, terus mengejar cita-cita luhur dengan tanpa henti, dan menjadi martir-martir kontemporer dengan cara melakukan suatu tindakan yang dapat mengembangkan potensi diri sekaligus meraih kehidupan yang sejahtera dan harmonis di dalam kehidupan bangsa dan negara. (*)

*Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi