
BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Sidang perkara pidana yang melibatkan anak biasanya digelar tertutup untuk melindungi kepentingan anak sesuai undang-undang. Namun, pengamat hukum sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Nurul Ghufron, menyebut ada kondisi khusus yang memungkinkan sidang tersebut dibuka untuk umum.
“Prinsip pengadilan anak memang tertutup demi melindungi kepentingan anak. Tapi dalam kondisi tertentu, sidang bisa dibuka untuk umum,” ujar Ghufron, Minggu (19/10/2025).
Ia menjelaskan, pengecualian ini diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam pasal itu disebutkan, hakim dapat memutuskan sidang terbuka untuk umum jika dinilai perlu untuk kepentingan umum dan kepentingan anak setelah mendengarkan pendapat anak, orang tua atau wali, serta pembimbing kemasyarakatan.
“Kalau demi kepentingan yang lebih besar, sidang bisa dibuka. Tapi syaratnya berat,” tegas Ghufron.
Menurutnya, setidaknya ada dua syarat utama agar sidang bisa terbuka. Pertama, demi kepentingan umum, misalnya kasus sudah menimbulkan keresahan masyarakat luas dan transparansi dibutuhkan agar publik percaya pada proses hukum. Namun, Ghufron menekankan, interpretasi ‘kepentingan umum’ ini harus dilakukan dengan hati-hati.
Kedua, demi kepentingan anak itu sendiri. Ini merupakan syarat paling sulit, sebab harus dibuktikan bahwa sidang terbuka justru menguntungkan anak. “Misalnya anak ingin membersihkan namanya di depan publik. Tapi argumen seperti ini sangat jarang dan berisiko tinggi,” jelasnya.
Selain itu, hakim wajib meminta pendapat dari anak, orang tua atau wali, serta pembimbing kemasyarakatan sebelum memutuskan sidang terbuka.
Ghufron menambahkan, jika pihak keluarga ingin meminta sidang terbuka, pengajuannya harus dilakukan secara tertulis kepada majelis hakim.
“Permohonan bisa diajukan oleh jaksa, penasihat hukum anak, atau orang tua/walinya. Tapi harus disertai alasan kuat dan bukti bahwa syarat Pasal 21 SPPA terpenuhi,” tuturnya.
Setelah permohonan diterima, hakim wajib menggelar sidang khusus untuk mendengarkan pendapat anak, orang tua, dan pembimbing kemasyarakatan. Rekomendasi dari pembimbing ini, kata Ghufron, sering kali menjadi faktor penentu.
“Majelis hakim akan memutuskan dengan pertimbangan sangat berat, memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak,” lanjutnya.
Ghufron menyinggung kasus siswi MI korban pembunuhan dan rudapaksa di Banyuwangi. Menurutnya, keraguan keluarga terduga pelaku bisa dijawab jika penegak hukum mampu menunjukkan minimal dua alat bukti yang sah, meskipun kondisi tempat kejadian perkara (TKP) sudah rusak.
“Rusaknya TKP itu tantangan bagi penegak hukum. Tapi bukan alasan untuk tidak menghadirkan dua alat bukti yang cukup. Kalau tidak ada bukti yang cukup, maka seseorang tidak boleh ditetapkan sebagai tersangka,” pungkasnya. (ep)