OPINI: Reset Indonesia, Ungkap Luka Ujung Timur Jawa Oleh: Nurul Faizah*

278g8ub.jpg Bedah Buku Reset Indonesia Bersama Dandhy Dwi Laksono di Genteng, Banyuwangi (Foto: Persma eL-Mizna)

BWI24JAM.CO.ID, Banyuwangi - Malam itu Warung Kopi dipenuhi oleh ratusan manusia dari berbagai daerah, membawa harapan dan pertanyaan yang nantinya akan di keluh kesahkan bersama dan di jawab bersama.


Tim Reset Indonesia sukses menggelar kegiatan “Bedah Buku Reset Indonesia”, dengan menarik ratusan audiens, kegiatan ini sedikit banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kekhawatiran dan keresahan yang mulai menghiasi setiap pikiran manusia Indonesia, terutama kekhawatiran dari kaum bawah yang menginginkan tata kelola yang lebih baik dan adil. Kegiatan ini bertempat di Warung Kopi (Warkop) Nuraga, Genteng, pada Senin (29/12/2025) malam.


Kegiatan dimulai sekitar pukul 20.00 WIB, dengan menghadirkan narasumber sekaligus salah satu penulis buku Reset Indonesia, Dandhy Laksono, yang kerap disapa dengan panggilan Mas Dandhy. Beliau memulai acara diskusi buku Reset Indonesia ini dengan memutar sebuah film hasil ekspedisi dari Tim Reset Indonesia. 


Selain mendatangkan salah satu penulis buku Reset Indonesia, diskusi malam itu juga menghadirkan beberapa orang yang menjadi saksi langsung dari  konflik perebutan ruang hidup Masyarakat dan lingkungan di Banyuwangi, di antaranya Qomariyah, yang akrab disebut dengan Mbak Mar dari Rukun Tani Sumberejo, Pakel, Nur Aini, yang akrab di sebut dengan Bek Paini, salah satu warga Kaki Gunung Tumpang Pitu, serta dua warga dari desa lingkar tambang  lainnya, yakni Mas Dayat (Desa Sumbermulyo) dan Kang Puji Wantoro ( Desa Kandangan).


Diskusi bedah buku Reset Indonesia malam itu berjalan dengan lancar dan penuh semangat dari para narasumber dan audiens. Bek Paini, salah satu warga Kaki Gunung Tumpang Pitu juga turut membakar semangat audiens malam itu, beliau menyampaikan argumenya dengan nada yang berapi-api “Apapun resikonya ayo lawan, ayo saya bantu, jangan sampai mau di tindas” kata beliau malam itu, Bek Paini juga turut menyampaikan kekecewaanya terhadap Pemerintahan yang terlalu mengeksploitasi Gunung Tumpang Pitu secara berlebihan. “Perlawanan di Tumpang Pitu belum selesai”, ucap beliau di akhir penyampaianya yang di balas dengan tepuk tangan dan suara sorak semangat dari audiens.


Penyampaian dari Buk Mar, salah satu warga Pakel juga tak kalah pilunya. Buk Mar menceritakan kisah perlawanan Warga Pakel yang di mulai sejak tahun 1925 hingga saat ini. “Pada tahun 1929, warga sudah di berikan izin untuk pengelolaan tanah oleh bupati pada masa itu, namun hingga saat ini masih belum ada kebebasan untuk mengelola tanah” ujar beliau dengan nada terisak, menahan luka yang tak kunjung sembuh. Beliau juga menceritakan tentang konflik dengan perhutani di tahun 2000-an, seluruh audiens mendengarkan dengan khidmat dan seksama.


Kegiatan di lanjut dengan sesi diskusi dan tanya jawab, lebih dari 5 orang yang malam itu bertanya dan ikut mengungkapkan keresahan ekologis dan agraria yang terjadi di daerah Banyuwangi sendiri. Di akhir acara Mas Dandhy dan narasumber lainya  juga memberikan pesan dan beberapa motivasi untuk seluruh audiens yang telah hadir, “Orang yang kuat itu bukan orang yang tidak menangis, tapi orang yang kuat itu adalah orang yang meskipun dia menangis tapi tetap memutuskan untuk bertahan”, ujar Mbak Mar di penghujung kegiatan.


Selain itu, Mas Dandhy juga menyampaikan bahwa Banyuwangi  menjadi titik ke 54 sekaligus penutup rangkaian lawatan bedah buku Reset Indonesia di tahun 2025 setelah dua bulan berkeliling mengadakan bedah buku di Pulau Jawa. (*)

*Nurul Faizah, Persma eL-Mizna Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi (UNIIB)